Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
36. Walaa taqfu maa laysa laka bihi ‘ilmun inna alssam’a waalbashara waalfu-aada kullu ulaa-ika kaana ‘anhu mas-uulaan
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya.
TAFSIR AKTUAL
“Walaa taqfu maa laysa laka bihi ‘ilm”. Jangan asal berkomentar, jangan sok tahu, risikonya di akhirat nanti, pasti dituntut bertanggungjawab. Kata “taqfu” pada ayat ini terkait dengan profesi “Qa’if” zaman jahiliah dulu dan dilestarikan pula pada era kenabian.
Qa’if adalah wong pinter, ahli melacak nasab seorang anak kepada ayah genetiknya. Caranya, mengambil kesamaan bentuk fisik tumit, telapak kaki, betis, dan sekitarnya antara bayi dengan calon ayah yang akan ditentukan. Dulu, nikah jaman jahiliah itu banyak ragam dan dimaklumi.
Salah satunya nikah model pelacuran, seorang gadis berhubungan seksual dengan banyak pemuda. Ketika melahirkan anak, maka si cewek berhak menunjuk pemuda mana yang disukai. Jika pemuda yang ditunjuk menolak, maka qa’if sebagai penentu. Semua laki-laki yang pernah menanam air mani dikumpulkan.
Lalu sang qa’if mulai bekerja dengan meneliti tumit para lelaki tersebut, satu per satu. Hanya satu yang punya gent sama, maka pemuda itu adalah ayahnya. Menurut sejarah, tingkat akurasi kebenarannya hampir bisa dibilang seratus persen. Hebat, melebihi tes DNA sekarang.