Sumamburat: Pemilu yang Menyakiti Bumi

Sumamburat: Pemilu yang Menyakiti Bumi Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

RAGAM celoteh itu terus diumbar sambil mengacungkan telunjuknya. Wajahnya tampak memberikan guratan dendam yang tidak mampu disembunyikan mengenai gelisah yang sedang menyulam jiwanya. Dia mengungkit luasan lahan yang dikuasai lawan tanding yang lebih asyik tersenyum sambil berjoget tanda kesal yang mampu diredamnya.

Ucapannya digelorakan di hadapan para “pengagum” yang tidak tergoyahkan oleh realitas apapun kecuali “taklid yang tidak terbayangkan” sebelumnya. Istilah perang total juga tergemurukan dari bilik kekuasaan yang dikukuhi hingga akhirnya doa seorang emak-emak membuncah selaksa pertempuran hebat di palagan Badar.

Semua tafsir dikemas dan sesama pendukung mengurai panjang lebar untuk selanjutnya betapa perih gelanggang pemilu ini. Perih karena data yang terucap menjadi areal penuh sanggah dengan bukti yang disodorkan oleh khalayak ramai. Perdebatan akhirnya singgah dalam kawasan yang sangat kompleks, karena debat tidak sebatas antar kandidat melainkan sudah melibatkan rakyat. Soal bagi lahan atau hendak “merampasnya”. Itu terserah selagi memang kuasa digenggam sekuat tenaga.

Bahkan kini soal kebakaran hutan dan lahan di tahun 2019 terus meluas seolah menjawab dengan telak atas paparan yang dikemukakan begitu lancarnya oleh yang bertengger di puncak singgasana. Ada kebakaran hutan dan lahan yang melengkapi peristiwa tahun 2015 yang mencatatkan kebakaran hutan selebar 2,6 juta hektar, 2016: 438 ribu hektar, 2017 seluar 165 ribu hektar, dan 2018 serupa, 165 ribu kehtar. Begitulah KLHK mencatatkan data sebersit informasi yang sangat dapat menjelma dalam reka grafis yang memukau untuk dicermati. Ini semua menjadi pembulat ragam “rasa sakit bumi” di tahun-tahun yang lalu (2017-2018).

Tahun-tahun yang telah berlalu itu secara ekologis menyajikan bencana hidrometeorologi yang ternarasikan sebagai lembaran pustaka untuk mengatasinya di 2018. Tahun 2017 melukiskan peristiwa: 787 banjir; 716 puting beliung; 614 tanah longsor; 96 karhutla; 76 banjir disertai tanah longsor; 19 kekeringan; 20 gempa bumi; 11 gelombang pasang dan abrasi; serta 2 gunung meletus. Ribuan bencana ini menimbulkan korban jiwa maupun harta benda: 377 meninggal dan hilang, serta 3,5 juta mengungsi dan menderita.

Adapun kerusakan yang dialamai meliputi: 47.442 rumah, 1.272 sarana pendidikan, 113 sarana kesehatan, 698 sarana peribadatan. Jumlah kerugian finansial amatlah spektakuler: Rp11 triliun akibat erupsi Gunung Agung, Rp1.13 triliun karena siklon tropis Cempaka, Rp338 miliar di kasus banjir Balitung, Rp253 miliar “tergerus” banjir yang melanda Lima Puluh Kota, dan Rp68 miliar “hilang” di sapu longsor di Cianjur.

Beban derita itu tampak menindih bangsa ini yang sebelumnya tersengal oleh gempa di Lombok dengan kekuatan 7 skala Richter pada 5 Agustus 2018 sebagai rangkaian dari cerita gempa susulan sejak 29 Juli 2018 yang terwartakan sambung-menyambung. Donggala dan Palu pada 28 September 2018 diluluhlantakkan gempa dengan “akrobat” likuefaksi yang sengsaranya masih terasa berat membekas dalam hiruk-pikuk publik. Semua itu merekam jelajah gelisah, resah dan luka dengan derita yang dirasa menghunjam kelam.

Angka-angka itu bukanlah sekadar hitungan statistikal semata, melainkan genta suara yang menggedor kesadaran agar negara tidak abai pada kepentingan lingkungan. Rupiah yang dikalkulasi sejatinya mendeskripsikan hadirnya tragedi ekologi betapa besar ongkos yang harus dibayar akibat kegagalan publik menjaga kelestarian ibu pertiwi. Rentetan bencana di 2017 merupakan produk dari kebijakan lingkungan yang telah lama dipancangkan.

Apa yang telah khalayak ramai perbuat terhadap hutan, pekarangan, sawah-ladang serta sungai ataupun lautan yang membentang? Kita semua perlu bercermin diri tentang lemahnya pengawasan atas alih fungsi lahan yang berlangsung TSM (terstruktur-sistematis-masif). Negara tidak elok mentradisikan pemahaman bahwa bencana adalah takdir dansiklus tahunan.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO