Sumamburat: Musim Berdebat

Sumamburat: Musim Berdebat Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

SAMPAI saat ini masih banyak pihak yang meramaikan debat capres-cawapres 17 Januari 2019 sambil menanti hadirnya agenda serupa 17 Februari 2019. Debat itu seolah tidak lapuk oleh hujan nan tiada kering oleh panas, seterik apapun.

Sepertinya debat telah menjadi asupan baru rakyat Indonesia dengan merindukan diri kumpul bareng komunitas, konco, kawan, dulur, sanak kadang dan hantai taulan. Wadahnya berupa nobar debat kandidat yang merasuk dengan tusukan yang menghunjam ke dalam wilayah sosial.

Ini adalah babakan yang menggembirakan bagi penggandrung demokrasi. Sekaligus ini momentum kebersamaan yang menggerakkan kegembiraan kolektif warga negara. Apalagi panitianya sudah menyerukan agar institusi pemerintahan dalam segala level termasuk sekelas RT-RW melakukan nobar selaksa memeriahkan pesta sepak bola.

Dengan nobar dipastikan terakumulasi batin yang mengenang gawe nasional bahwa pada 17 April 2019 hendak berlangsung pesta rakyat, pesta untuk berbagi kuasa menyenangkan batin khalayak. Debat dihadirkan seberkas cahaya yang memberikan ruang pelampiasan untuk beradu argumentasi.

Hanya saja yang perlu diperhatikan dan memang menarik diperdebatakan sejatinya bukan debat capres-cawapresnya melainkan memperdebatkan kaum penggembira yang berseberangan. Hal ini tidak lepas dari nobar yang mengkristal, bukan nobar yang membaur seperti gerakan “menggelepungkan diri”.

Nobar yang saya saksikan adalah nobar para partisan yang sudah jelas orientasi pilihan yang dikukuhi sehingga penonton debat sebenarnya adalah orang-orang yang sudah mantap dengan pilihannya. Untuk selanjutnya para penobar ini ramai di medsos untuk mengunggah pendapatnya tentang pelaksanaan debat capres-cawapres yang digelar oleh KPU.

Sahut bersahutan antar cuwitan para pendukung itulah yang justru menyesakkan dada awam. Nobar yang “memberas” ini belum bisa menyatukan diri karena pertemuan mereka selicin antara “air dan minyak tanah”. Menyatu dalam nobar tetapi tidak membentuk integrasi pikir sesama saudara melainkan hanya persatuan senama dengan sebutan nobar tetapi nobar yang sepihak, bukan yang integrated.

Dengan nobar yang “mazhabi” dan “berjuz’i-juz’i” ini telah membawa implikasi sahutan ujaran yang membenci di areal antariksa masyarakat. Tatanan sosial yang berkembang adalah “hati yang terluka” untuk menjadi fenomena yang terus memuaikan kebencian tanpa final. Hal ini sejurus dengan agenda pemilu sebagai tradisi penentuanpemimpin secara demokratis.

Ganti presiden atau tetap itu sah dalam pemilu sebagai instrumen legal sekaligus berkeabsahan politik tinggi. Kedaulatan rakyat disematkan dalam kerangka besar kepada siapa rakyat menyerahkan mandatnya kepada para kandidat. Ini sesungguhnya sangat asing dari tradisi bangsa sebab negara ini memiliki dasar falsafah Pancasila yang menghendaki dipimpin penuh hikmah melalui musyawarah.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO