Ngaji Budaya, Keprihatian atas Terkikisnya Budaya oleh Konten Medsos

Ngaji Budaya, Keprihatian atas Terkikisnya Budaya oleh Konten Medsos Pemateri dalam Ngaji Budaya. foto: tim

SEMARANG, BANGSAONLINE.com – Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (BEM KM UNNES) menggelar Ngaji Budaya di Gedung Kewirausahaan (KWU) UNNES, Sabtu (24/11) bulan lalu.

Dua pemateri dan satu dalang wayang kulit perempuan dihadirkan dalam acara ini. Mereka adalah dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Drs Ilyas M.Ag, dan penggagas Suluk Maleman Pati bernama Habib Anis Sholeh Ba’asyin. Adapun dalangnya adalah Nyi Eliza Naviana Damayanti.

Satu pemateri, Drs. Ilyas M.Ag, ketika ditanya tentang gempuran konten media sosial yang tak sejalan dengan budaya asli Indonesia menyebut bahwa medsos punya pengaruh besar. “Medsos sudah menguasai dunia dan pikiran pemuda. Ini merupakan sisa hasil jajahan zaman dahulu, yang membuat rakyat Indonesia bingung dan lupa terhadap sejarah peradabannya sendiri,” kata Ilyas. “Padahal budaya bukan soal materi, tapi mendekatkan kita pada rohani atau nilai atau perilaku. Indonesia sekarang lebih suka mengadopsi nilai asing, budaya, akademi, agama dan lain-lain daripada meneruskan peradaban sebelumnya,” kata dia.

Ilyas membeberkan bahwa, peradaban Indonesia berasal karena adanya Kerajaan Majapahit, kemudian diteruskan Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Solo, kemudian baru ada Indonesia. “Hanya beberapa orang yang mengetahui sejarah ini. Mahasiswa sejarah pun mungkin tidak tahu mengenai peradaban ini. Budaya itu ada dikarenakan peradaban, karena ada jajahan dari penjajah barat, maka sedikit demi sedikit peradaban itu hilang. Dan setelah penjajahan itu selesai, rakyat Indonesia telah melupakan peradabannya, dan mulai mengikuti peradaban barat,” demikian penjabaran Ilyas.

Untuk mengembalikan peradaban, analisis Ilyas, dibutuhkan waktu lama. Proses meredam maraknya konten yang mempengaruhi peradaban budaya, bisa dimulai dari lingkungan keluarga. Misalnya, mengenalkan dan mengajarkan anak pada budaya Jawa (karena lahir di Jawa), seperti keseharian mengajarkan anak memakai Bahasa Krama Jawa (Bahasa Jawa halus). Dampaknya, sangat jelas, yaitu tidak akan terbiasa mengejek teman atau paido (marah) sama orang lain.

Sementara di acara yang sama, satu dosen, Khoirul Anwar S.Pd., M.Pd, mengingatkan mengenai pentingnya budaya bagi mahasiswa. “Dengan budaya kita bisa lebih bermatabat, karena dalam budaya khususnya budaya Jawa, kita diajarkan mengenai tata krama dan andap ashor dalam bertingkah laku maupun bertindak. Dapat kita lihat sendiri, bahwa mahasiswa saat pergi kuliah dan kembali ke kampung halamannya mereka akan berbeda, ada perasaan paling pintar. Maka dengan adanya acara yang bertemakan budaya, sifat atau perilaku negatif itu akan luntur dengan sendirinya,” kata dia. “Saya prihatin atas perilaku yang jauh dari agama dan moral budaya. Sehingga Ngaji Budaya ini menjadi salah satu jembatan untuk mengatasi keprihatinan ini,” tambah Khoirul.

Ghanis Putra Widhanarto S.Pd., M.Pd, dosen jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan menyikapi bahwa acara Ngaji Budaya ini sangat baik bagi mahasiswa, apalagi menghadapi era Revolusi Industri 4.0 ini. “Teknologi sangat berkembang pesat di lingkungan mahasiswa, dapat diketahui dari banyaknya aplikasi yang digunakan mahasiswa dalam mencari tugas dan mendapatkan informasi. Dengan adanya teknologi, kita dapat mengembangkan suatu budaya,” analisis dia.

Menurutnya, terkikisnya budaya dapat diketahui dari banyaknya berita hoax . Untuk mencegahnya, perlu adanya kumpulan orang yang memiliki passion tertentu membentuk sebuah grup chat kelas spiritual berbudaya. “Misalnya ada seseorang melakukan komentar spam, dia harus dikeluarkan dari kelas grup itu. Sebelumnya harus dibentuk suatu aturan di awal. Itu suatu gerakan berbudaya yang tidak perlu ketemu langsung, tapi kontennya tetap dijaga. Jadi kita menarik minat lewat konten-konten yang berkualitas pada suatu grup sosial media, itu salah satu contoh. Tapi nantinya akan muncul contoh-contoh lain yang menggunakan model pola seperti itu,“ saran dia.

Retno (20) mahasiswa jurusan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni UNNES mengakui apresiasi budaya di lingkungan kampus sangat minim. Kebanyakan mahasiswa kurang antusias mengenai acara-acara yang bertemakan budaya, dan mereka lebih antusias mengenai acara yang bertemakan kemajuan zaman atau budaya milenial.

Memang memrihatinkan.

Sumber: -

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO