Tafsir Al-Isra 11: Dulu, Soekarno Juga Menggugat Adzan, Kini Anaknya

Tafsir Al-Isra 11: Dulu, Soekarno Juga Menggugat Adzan, Kini Anaknya Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .  

Wayad’u al-insaanu bialsysyarri du’aa-ahu bialkhayri wakaana al-insaanu ‘ajuulaan (11).

Ayat studi ini mengingatkan, betapa watak dasar manusia itu tak sabaran, maunya segera terwujud apa yang diingikan. "… wakaana al-insaanu ‘ajuulaan". Orang manjadi tidak sabaran atau "al-‘ajul" biasanya dilatarbelakangi beberapa hal, antara lain: Pertama, memang otaknya cingkrang dan pikirannya pendek. Dia tidak mampu berpikir. Kedua, sinyalemen ini bedasar makna dasar dari kata "‘ajul", sangat tergesa-gesa. Hal mana menunjukkan singkatnya waktu dan pendeknya kesempatan untuk melakukan sesuatu.

Dalam al-Qur'an, berpikir panjang dan pendek ini dicontohkan dengan keimanan dan kekafiran. Menyikapi hidup ini, orang kafir hanya berpikir satu kali, yakni yang ada di hadapan matanya sekarang, yang ada di dunia saja. Kehidupan di kemudian hari, di akhirat nanti tidak masuk dalam jangkauan pikiran mereka. Makanya, mereka ingkar dan tidak percaya. Konsekuensinya, perbuatannya hanya berorientasi pada kurikulum dunia saja. Makan enak, bersenang-senang, berkuasa, tidak ibadah dan lain-lain.

Sedangkan orang beriman berpikir dua kali dan ke depan. Justru kehidupan di hari akhir nanti yang menjadi prioritas. Makanya, mereka percaya kepada hari pembalasan nanti. Lalu, amal perbuatannya diproyeksikan untuk Allah SWT, untuk akhirat nanti. Meski berat, tetap mendermakan hartanya untuk agama. Meski malas, tetap saja bangun pagi demi shalat subuh berjamaah. Ya, karena sangat sadar, pahalanya banyak dan akan dinikmati nanti.

Kedua, karena merasa superior. Merasa dirinya orang hebat, ningrat, terhormat yang menurut anggapannya mesti dipatuhi, mesti dimuliakan publik. Rasa superior ini bisa mereduksi nalar futuristik sehingga merasa tidak perlu berpikir panjang atau menimbang-nimbang akibat.

Itulah, maka Allah SWT, setelah membicarakan watak dasar manusia yang buruk ini, pada ayat berikutnya dipapar soal waktu, ada malam dan ada siang. Semuanya sebagai servis bagi manusia agar menggunakan waktu sejenak demi berpikir ke depan sebelum bertindak.

Beberapa waktu lalu sempat ramai soal Sukmawati Soekarno Putri. Anak perempuan proklamator ini membaca puisi yang isinya merendahkan jilbab, kalah dengan konde dan suara adzan yang kalah enak dibanding kidungan, tarian, dan sebangsanya. Atau semakna dengan itu. Walhasil, diktum syari'ah islam dihadap-hadapkan dengan budaya, lalu dinilai sendiri secara sepihak dan diputuskan, bahwa adzan kalah indah dan jilbab lebih buruk. Perspektif tafsir aktual berbicara begini:

Pertama, soal jilbab dan adzan sungguh ada dan tertera dalam al-qur'an sebagai syari'ah islam. Beljilbab bagi wanita muslimah adalah kewajiban. Memang, jilbab berangkat dari budaya, tapi syariah telah memilih dan menetapkan. Maka, dalam agama, jilbab adalah syariah dan bukan budaya lagi. Toh tidak semua budaya dilegitimasi oleh agama. Jadi berjilbab itu murni masalah keimanan. Wanita yang imannya mapan pasti aktif berjilbab atas dasar ibadah dan ketaqwaan. Sementara yang munafik, banyak alasan dan menyepelekan.

Perspektif etik, muslimah yang berjilbab menandakan kecantikan dan keindahan wajah dan tubuhnya adalah amanah Allah yang mesti dijaga. Dengan berjilbab, muslimah tersebut seolah memberi peringatan, bahwa dirinya tidak siap dinikmati laki-laki lain secara haram. Dan itulah ekspresi ketaqwaan.

Tidak sama dengan wanita berpakaian terbuka atau setengah terbuka, termasuk yang berkonde tanpa tutup kepala. Secara kasat mata adalah sajian gratis untuk umum. Semua laki-laki dipersilakan menikmati tampilannya.

Untuk itu, wanita dengan pakaian terbuka atau setengah terbuka sejatinya telah"melacurkan diri" sebagian tubuhnya dan gratis. Dibanding pelacur, wanita berpakaian setengah terbuka lebih sosial, karena pelacur bertarif dan berbayar. Dibanding pelacur, wanita terbuka terbatas servisnya, sementara pelacur los dan bebas.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO