Sumamburat: Lombok dan Ajakan Berantem

Sumamburat: Lombok dan Ajakan Berantem Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

GUNCANGAN itu memorakporandakan tatanan konstruksi bangunan di mana setiap segmen kehidupan selama ini dituang penuh asa. Rumah dan gedung-gedung serta musalla dan masjid ambruk melalui retakan yang tidak terjangkau imajinasi jamaahnya. Jalanan merekah dengan raungan tangis dan bukan tanda alam tersenyum melalui kemegahannya. Jerit tangis dan lelehan air mata itu tumpah membanjiri “sawah ladang batin” siapa saja yang peduli kemanusiaan. Anak-anak dilahirkan dan ibu-ibu hamil menelantangkan jiwa raganya dengan kepasrahan yang memuncak.

Kerumunan terus bertambah dengan keriuhan yang terbalut teriakan histeris yang tiada henti sambil menyembulkan sinyal pertolongan yang harus diberikan siapa saja yang menatapnya. Sorot mata publik areal gempa terkesan lesu dengan tampilan amat lelah selelah-lelahnya. Saat itulah semua orang menoleh ke arah yang sama pada sebuah sisi geografis Indonesia yang ada diujung seberang dari Jawa maupun Pulau Dewata.

Lombok NTB kembali “disapa” gempa dengan kekuatan 7 skala Richter pada Ahad pagi, 5 Agustus 2018 saat saya dan para jamaah Masjid Ar-Rahman Western Regency Surabaya menyimak Ngaji Subuh mengawali rutinan aktivitas bulanan. Kabar menyebar dari ponsel yang menandakan ada pesan yang harus dibaca, justru dari wilayah Makkah Al-Mukarramah. Ustadz Ahmad Walalurahman asal Lombok yang selama ini tinggal di Saudi Arabia memberi pekabaran itu. Sontak saya terjengah dengan takbir yang musti diucap untuk menundukkan diri pada kuasa Illahi meski dalam batin: Allahu Akbar.

Peristiwa ini tepat sepekan sebelumnya, Ahad, 29 Juli 2018. Gempa telah memberikan “peringatan” atas areal yang seperwilayahan sama. Sungguh belum sempat melenggang istirah akibat “gelegak alam” yang terwartakan sambung-menyambung berurutan dengan sebutan “gempa susulan”. Tampaklah gempa seperti sedang melakukan lari maraton untuk saling susul menyul demi menjalankan tugas naturalis yang diperintahkan.

Gempa 6,4 skala Richter di Ahad Pagi, 29 Juli 2018 maupun 5 Agustus 2018 itu merobek “tikar kehayatan” sebagian Lombok dan Pulau Sumbawa. Nyawa melayang dan harta benda yang berhambur ditambah dengan “air bah” tangisan yang semakin lama semakin memantulkan kekhusukan karena hadirnya suara zikir tiada henti dari orang-orang beriman. Subhanallah.

Sampai hari ini suasananya berada dalam belantara tauhid yang “mengkhusukkan jalan ibadah” dengan segala bentuknya. Saya sungguh sangat mengagumi saudara-saudara setanah air Indonesia dari beragam ormas dan aparatur negara yang hadir untuk saling meringankan beban sesamanya.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO