Pemimpin Ideal dalam Dilema Demokrasi

Pemimpin Ideal dalam Dilema Demokrasi M. Helmi Umam

Oleh: M. Helmi Umam*

Keramaian Pilkada serentak 2018 segera memasuki anti klimaks. Semua calon kepala daerah semakin tampak jelas lewat kemenangan hitung cepat. Ada yang berbahagia, ada yang kecewa. Beberapa hari ke depan, gejolak sengketa Pemilu mungkin akan terjadi. Mungkin juga akan tidak terjadi apa-apa, semua kembali normal seperti sedia kala. Pemenang akan segera menyiapkan diri untuk memimpin, yang kalah akan mencari kesibukan lain.

Bagi kita rakyat, babak berikutnya adalah mengamati. Kita akan merasakan dan menilai, hal baru apa yang sudah disiapkan oleh pemimpin-pemimpin ini. Apakah kita akan terkesan, terhibur, hingga kemudian bersyukur oleh dampak dari Pilkada hari ini. Ataukah kita justru semakin bosan, menyesal, dan meratapi kembali masa lima tahun mendatang. Rakyat adalah user dari jasa kepemimpinan.

Pemimpin sebagai provider, pelayan akibat mandat rakyat, akan bekerja sebagaimana janji. Janji-janji ini adalah visi kepemimpinan dan trade-mark unik setiap pemimpin. Pemimpin yang dirindukan adalah yang benar-benar bekerja keras mewujudkan janjinya sesuai gaya-nya. Dalam perjalanannya mungkin tidak semua janji mampu ditepati, namun sebuah janji tidak boleh dengan sengaja dikhianati.

Plato (Republic, 360SM) mengatakan bahwa pemimpin terbaik adalah yang bijaksana. Bijaksana berarti logis, etis, dan estetis yang kualitas kebijaksanaannya melampaui kebijaksanaan instan. Kebijaksanaan instan adalah hal yang sekilas tampak dibutuhkan, tetapi sebenarnya belum waktunya dibutuhkan. Kata Plato, kualitas pemimpin harus cerdas, berintegritas baik, dan menguasai seni menggerakkan untuk menyelesaikan masalah. Praktisnya, pemimpin tidak harus meloloskan semua keinginan masyarakat, jika justru keinginan itu melawan visi.

Problem Demokrasi

James Madison (The Federalist Papers, 1788) berteori bahwa secara prinsip demokrasi mengandung kelemahan mendasar. Baginya, akan sangat membahayakan jika semua orang bebas menuntut pemimpin terpilih padahal tidak semuanya memiliki kompetensi memadai untuk menghasilkan keputusan. Untuk menutup kelemahan ini, dianjurkanlah model republik, dengan sifat demokrasi keterwakilan. Di Indonesia sudah sangat tepat mengakomodir kekuatan legislator memerankan fungsi keterwakilan ini.

Persoalannya adalah ketika peran legislator dianggap belum berdampak dalam proses mengawal setiap kepemimpinan. Idealnya, legislator adalah pengelola suara masyarakat yang kompetensinya melampaui masyarakat. Legislator yang kompeten akan bertemu dengan pemerintah yang juga kompeten untuk memutuskan apa yang terbaik bagi masyarakat. Pada fungsi pengambilan keputusan, pemerintah dan legislator akan bersatu. Pada fungsi yang lain, misalnya pelaksanaan dan pengawasan, legislator bersifat mengoreksi.

Jadi, kata kunci demokrasi keterwakilan adalah kompetensi mengelola suara masyarakat. Kompetensi ini yang membedakan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Semua orang berhak mencalonkan jadi pemimpin, tetapi tidak semuanya kompeten memimpin. Kecerdasan pemimpin dibutuhkan saat memilah aspirasi agar berhasil pada visi. Integritas diperlukan untuk menjaga pemimpin dari penyelewengan. Seni memimpin penting untuk mengedukasi masyarakat agar semakin berkualitas. (*)

*M. Helmi Umam: Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya. Aktif pada Pusat Studi Pancasila dan Agama (PuSPA) UIN Sunan Ampel Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO