Sumamburat: Bola Tanpa Pancasila?

Sumamburat: Bola Tanpa Pancasila?

Oleh: Suparto Wijoyo *

KEGEMBIRAAN itu tumpah dalam riuh yang membahana di Gelora Bung Tomo, Minggu, 6 Mei 2018 sebagai penanda kegemilangan Persebaya (Surabaya) atas lawan tandingnya, Arema Malang, 1-0. Kemenangan diukirkan dari bola yang masuk ke gawang dengan selisik yang menunjukkan kehebatan menguasai si bundar. Lapangan adalah panggung kedigdayaan para pemain dengan membuncahkan “emosi jiwaku” sambil melambaikan “lantun persatuan”, salam satu nyali: wani. Sebuah jargon yang meruhanikan peneriaknya selaksa pahlawan dengan segala atribut yang sangat menyita perhatian. Lagak dan gayanya “memukau” dalam memenuhi jalanan dan setiap orang dibuat “tiarap” untuk mempersilahkan “pemilik bola” ini memestakan laga yang sudah diagendakan. Mengikuti gerakan pecinta bola, sungguh saya sangat terpukau atas tabiatnya yang penuhloyalitas, solid, kukuh dan berani.

Pekan ini “cemburu pada pendukung” sepak bola itu terus saja semliwer dalam setiap aktivitas akademik saya meski dalam hari-hari ini, kampus sibuk dengan agenda anak-anak yang bertaruh pengharapan untuk mengikuti seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri. Tas dibopong dan orang tua sibuknya melebihi panitia penyelenggara pertandingan sepak bola. Ujian akhir semester murid sekolah dasar apalagi. Semua bergerak dalam ritme yang sangat paten sebagai penanda adanya kepedulian tentang masa depan yang hendak diraihnya.

Saya sendiri berjibaku dalam rapat-rapat yang menyita banyak pemikiran dan gagasan dalam lingkup menyusun rancangan-rancangan peraturan menteri untuk menjaga mutu lingkungan. Pertemuan dengan aparatur penagak hukum lingkungan secara nasional yang dihelat KLHK dengan sokongan lembaga internasional merupakan “tugas keilmuan” yang harus didarmakan secara total.

Meski demikian, kelebat selendang suporter bola dan “angkuhnya mereka menguasai jalanan” sewaktu melintas di areal Banyu Urip sampai Benowo menuju Gelora Bung Tomo, di setiap ada acara pertandingan sepak bola, santer mengkristal menjadi permenungan yang hendak menyemburatkan diri di tangga Ramdan 1439Hyang kian mendekat. Ya Ramadan adalah saat dimana jiwa menyucikan kelambunya dan raga mewadahkan kisahnya dengan laku puasa yang sejatinya hanya Allah swt yang mengetahuinya.

Bola itu pertandingannya sangat vulgar sekaligus menarik minat banyak orang. Anak-anak, muda-mudi dan orang tua bersatu untuk menyuarakan “daulat bola” yang didukung nyaris semua media. Media massa harus memosisikan diri memberi ruang pemberitaan tentang pertandingan bola dan pemainnya adalah “idola” tersendiri yang secara spesifik memantik para pengagumnya untuk memberikan raungan. Nama-namanya dihafal dan kostum yang dipakai direplikasi untuk dikenakan kepada anggota keluarga dengan anggitan bahwa setiap penyebutan nama, bahkan nomornya akan mendapatkan “berkah”. Pemakai kaos kesebelasan kesayangan dan pemain yang diagung-agungkan selaksa menjadi “luapan nikmat” yang perlu diperagakan dengan sangat heroik. Nama kesebelasan dan nama pemain bola pun kian mewarnai pemberian nama anak keturunan. Tentu fenomena ini unik sekaligus menunjukkan batas imaji yang dilamunkan oleh penyematnya.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO