Pacitan Sebagai Kota Sejarah Penyebaran Islam di Tanah Jawa

Pacitan Sebagai Kota Sejarah Penyebaran Islam di Tanah Jawa Ki Ageng Lintang Panjerino, salah seorang saksi sejarah Pacitan. foto: ist

PACITAN, BANGSAONLINE.com - Kabupaten selain dikenal sebagai kota wisata, juga sangat lekat dengan sejarah penyebaran di tanah Jawa. Salah satunya, sejarah perjuangan Eyang Tunggul Wulung dalam mensyiarkan .

Eyang Tunggul Wulung adalah orang pertama yang melakukan babat alas di lereng Gunung Limo yang saat ini dikenal menjadi Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung. Tunggul Wulung juga diyakini sebagai orang yang melakukan penyebaran agama di tanah Jawa yang sebelumnya lebih banyak menganut agama Hindu dan Budha.

"Kedatangannya di lereng Gunung Limo diiringi seorang asisten bernama Mbah Brayut yang akhirnya menjadi cikal bakal dan menetap di Desa Sidomulyo, Kecamatan Kebonagung," tutur Ki Ageng Lintang Panjerino, salah seorang saksi sejarah di , Senin (7/5).

Sejarah Eyang Tunggul Wulung bermula dari kedatangan prajurit soreng seiring Kasultanan Demak Bintoro yang berdiri di abad 15. Seorang prajurit Soreng Pati, sebutan prajurit kerajaan Demak Bintoro (berasal dari kata sura ing pati yang berarti rela berkorban/mengabdi sampai mati) berpangkat Mantri Tamtama yang kemudian lazim disebut Eyang Tunggul Wulung.

Generasi pertama, bagi masyarakat mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan masyarakat lereng Gunung Limo yang meyakini bahwa Eyang Tunggul Wulung lah penguasa pertama Gunung Limo, sekaligus pelopor penyebaran agama di Desa Mantren dan sekitarnya.

"Sedangkan nama Desa Matren berasal dari kata mantri yang berati penguasa dan memiliki kebijakan. Berdasar urutan pangkat dari atas: (1) Raja/Sultan, (2) Adipati/Bupati, (3) Demang/Camat, (4) Mantri/Lurah, (5) Punggawa/Pegawai kerajaan atau pangkat dalam kerajaan, (6) Tamtama/prajurit, (7) Soreng Pati prajurit khusus berani mati. Hal ini menunjukkan bahwa Eyang Tunggul Wulung adalah penguasa daerah tersebut," bebernya.

Eyang Tunggul Wulung, tidak lain adalah salah seorang prajurit yang mendapat perintah Raden Patah (Raja Kasultanan Demak Bintoro) menjaga pusaka bendera panji hitam yang disebut panji Kyai Tunggul Wulung untuk dikibarkan di puncak-puncak gunung di tanah Jawa.

Hal itu sebagai tanda syiar secara turun-temurun. Karena mendapat tugas untuk menjaga panji Tunggul Wulung, soreng pati yang berpangkat mantri tamtama tersebut diberi gelar Eyang Tunggul Wulung sesuai dengan nama pusaka yang dijaganya.

Hal serupa juga terjadi pada pengangkatan Kyai Jayaniman pada masa Diponegoro sebagai Bupati yang bergelar Kanjeng Jimat, setelah mengabdikan diri sebagai juru pusaka di gedong Jimatan (1812-1826).

"Ketenaran nama Tunggul Wulung sebagai simbol syiar tidak hanya di Gunung Limo. Di Kadipaten Wengker (sekarang bernama Ponorogo) pada era Demak, Raden Katong (Betara Katong) yang bernama asli Lembu Kanigoro putra raja Majapahit Brawijaya V dari ibu yang berasal dari Bagelen, selaku adipati, beliau memiliki pusaka tombak pengibar panji kejayaan yang bernama Tunggul Wulung.

Tombak Tunggul Wulung milik Betara Katong tersebut sebagai pusaka simbol peradaban di Ponorogo. Sampai saat ini tombak Tunggul Wulung bersama dengan pusaka Payung Tunggul Naga dan ikat pinggang Cinde Puspito masih rutin setiap tahun diarak dalam tradisi kirab napak tilas pada 1 Syuro dari komplek makam Betara Katong menuju pusat kota," cerita Lintang Penjerino.

Sejarah Tunggul Wulung ini berawal dari senja kala Majapahit yang ditandai mulai redupnya pengaruh kekuasaan Raja Brawijaya V, saat kakak tertuanya Raden Jaka Purba yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan Kasultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikuti jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO