
Oleh: A. Faiz Yunus, M.Si
Eksploitasi alam secara berlebihan kini menjadi masalah besar di berbagai daerah, terutama di wilayah-wilayah terpencil seperti pulau-pulau kecil. Ironisnya, semua itu sering kali dilakukan atas nama pembangunan dan keuntungan ekonomi, tetapi faktanya justru lebih banyak merugikan masyarakat lokal dan merusak ekosistem alami.
Dalam perspektif ajaran Islam, tindakan semacam ini tidak bisa dibenarkan. Eksploitasi alam yang melampaui batas bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga melanggar nilai-nilai dasar yang diajarkan agama: keadilan, amanah, dan kemaslahatan bersama.
Imam al-Ghazali, ulama besar yang pemikirannya masih relevan hingga detik ini, sudah sejak lama mengingatkan tentang bahaya kerakusan dunia yng disebabkan manusia yang serakah. Dalam Ihya' 'Ulum al-Din, beliau menulis:
من انهمك في حب الدنيا، لم يشبع أبدا، واشتغل بجمعها عن مصالح دينه ودنياه، وأفسد بها نفسه والناس
“Siapa yang tenggelam dalam cinta dunia, ia tidak akan pernah kenyang. Ia sibuk mengumpulkan dunia hingga lupa maslahat agamanya dan merusak dirinya dan orang lain.”
Artinya, kerakusan bukan hanya soal pribadi, tapi bisa berdampak sistemik merusak lingkungan, merugikan masyarakat, dan menciptakan ketimpangan sosial.
Dalam khazanah hukum Islam juga ada kaidah fiqih yang sangat penting menyatakan bahwa :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
"Menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemanfaatan."
Maka, kalau suatu kegiatan, meski menguntungkan segelintir pihak, tapi ternyata membawa kerusakan bagi masyarakat luas dan lingkungan hidup, Islam dengan tegas menolaknya, sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ۚ وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
(QS. Al-A'raf: 56)
Kerusakan lingkungan, dalam konteks ini, bukan sekadar masalah teknis, melainkan bentuk pelanggaran terhadap perintah Allah. Bahkan, dalam konteks sosial, tindakan itu bisa menjadi kezaliman terhadap manusia dan generasi mendatang.
Yang patut disayangkan, diskursus soal etika lingkungan dalam Islam akhir-akhir ini malah sering dikaburkan dengan istilah-istilah tendensius, seperti “wahabi lingkungan” dan sejenisnya. Istilah-istilah ini tidak hanya tidak memiliki dasar ilmiah dan historis, tapi juga justru memperkeruh suasana, memperdalam polarisasi, dan menjauhkan umat dari substansi persoalan.
Padahal, dalam Islam baik dalam tradisi klasik Sunni maupun dalam corak Islam Nusantara alam ini adalah amanah. Menjaga alam adalah bagian dari ibadah dan bentuk nyata penghambaan kita kepada Allah. Tuhan menciptakan bumi ini dengan segala kelimpahannya, bukan untuk dirusak, tapi untuk dijaga dan dimanfaatkan secara bijak demi keberlangsungan umat manusia.
Karena itu, jangan sampai umat Islam justru terjebak dalam narasi yang menjauhkan mereka dari kesadaran ekologis. Saatnya kita kembali kepada ajaran Islam yang otentik: adil terhadap manusia, adil terhadap lingkungan, dan berpihak kepada kemaslahatan bersama.
Kita butuh sikap tegas: hentikan eksploitasi yang merusak, dan bangun kesadaran baru bahwa menjaga lingkungan adalah perwujudan ketakwaan kepada Allah SWT dan RasulNya.
Penulis adalah dosen, aktivis lingkungan, alumni Pondok Pesantren Amanatul Ummah angkatan 1, Alumni Universitas Moulay Ismail, Maknes Morocco, Alumni Pascasarjana Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, dan pegiat literasi Islam-humaniora.