Polarisasi Politik NU di Pilgub Makin Tajam, Dibutuhkan Tokoh Penengah

Polarisasi Politik NU di Pilgub Makin Tajam, Dibutuhkan Tokoh Penengah Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Soeparto Wijoyo, saat ditemui awak media.

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Pemilihan Gubernur tahun 2018 diwarnai polarisasi politik yang tajam di kalangan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Baik mereka yang di struktural maupun non struktur atau kiai kampung. Fakta itu tak dapat dihindari mengingat keterlibatan Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf dalam kontestasi pilgub di mana keduanya adalah tokoh NU.

Menurut pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Soeparto Wijoyo, sejak era reformasi, NU lebih fasih bicara politik daripada bicara di luar koridor politik. Akibatnya, warga Nahdliyin di lapisan bawah merasa jenuh dengan sikap politik tokoh-tokoh NU sehingga mereka memilih fokus di ranah keagamaan dengan meramut mushola dan masjid sebagai pusat syiar dan dakwah supaya NU selamat.

"NU sekarang seolah-olah menjadi bagian organ negara sehingga boleh menghakimi pihak lain yang seolah-olah berseberangan dengan pemerintah. Padahal kalau NU masuk wilayah politik, selalu kalah di politik," kata akademisi asli Lamongan ini, Senin (13/11).

Melibatkan NU dalam Pilkada 2018 adalah kekeliruan yang besar dan seolah tidak mau belajar pada pengalaman Pilgub Jatim sebelumnya. Di kubu Saifullah Yusuf, lanjut Suparto ada KH. Hasan Mutawakkil Alallah yang secara vulgar mendukung secara pribadi. Sebaliknya di pihak Khofifah ada Gus Solah dan tim 9 yang beranggotakan para kiai dan tokoh Muslimat NU.

"Karena tokoh-tokoh NU di Jatim sulit disatukan, saya sarankan sebaiknya tokoh NU yang disegani dan bisa diterima kedua kubu supaya turun ke Jatim. Bisa saja KH Makruf Amin, Gus Mus atau Habib Luthfi untuk mendamaikan dan menyelamatkan NU Jatim dari perpecahan," harap Suparto Wijoyo.

Terpisah, pengamat komunikasi politik dari Universitas Trunjoyo Madura (UTM), Mochtar W Oetomo menambahkan istilah yang tepat bukan NU butuh tokoh penengah karena tentu akan susah membayangkan siapa yang mampu dan layak menjadi penengah para kiai yang selama ini diposisikan dalam posisi mulia.

Ia memiliki beberapa pertimbangan yang pantas untuk dipikirkan bersama. Pertama, jika penengah itu adalah pejabat atau politisi, presiden misalnya, tentu akan semakin menempatkan posisi kiai pada posisi yang tidak terhormat.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO