KPU Sosialisasi UU Pemilu ke Kkalangan Mahasiswa: Buta Politik Lebih Bahaya daripada Buta Huruf

KPU Sosialisasi UU Pemilu ke Kkalangan Mahasiswa: Buta Politik Lebih Bahaya daripada Buta Huruf Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fandi Utomo (tengah) bersama Ketua KPU RI, Arief Budiman (kanan) saat sosialisasi UU Pemilu di Fakultas Hukum Unair. foto: DIDI ROSADI/ BANGSAONLINE

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Fandi Utomo mengatakan, pendapat seorang filsuf Jerman yang menyatakan orang yang bodoh itu bukan karena buta huruf melainkan orang yang buta politik. Alasannya, hampir semua kebutuhan hajat hidup seluruh masyarakat itu ditentukan oleh proses politik baik di parlemen ataupun di pemerintah dan tempat-tempat lain

"Sejak awal kehidupan seseorang sudah diatur dalam konstitusi, karena itu buta politik sebenarnya itu jauh lebih berbahaya dari buta huruf," ujar politisi asal Partai Demokrat saat menjadi narasumber sosialisasi UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu bersama KPU RI di Fakultas Hukum Unair, Jumat (3/11).

Agar angka buta politik bisa diminimalisasi, lanjut Fandi, maka dari sisi negara perlu menyiapkan instrumen yang cukup. Seperti parpol, penyelenggara pemilu dan sarana serta prasarana yang mempermudah orang menggunakan hak pilih (berpartisipasi) maupun menyediakan anggaran yang cukup.

Di sisi lain, stigma politik itu jelek dan buruk sebetulnya juga harus dijelaskan ke masyarakat khususnya melalui pendidikan. "Ini penting sebab dalam politik itu ada kebajikan yang diperjuangkan jadi tidak ada politik tanpa kebajikan. Kalau ada pertempuran antara kebaikan dan keburukan itu suatu keniscayaan," ungkap dia.

Banyaknya persoalan di parlemen juga menyebabkan stigma lembaga DPR jelek. Begitu juga di lembaga pemerintahan, banyak pejabat bermasalah karena mereka tak sungguh-sungguh memperjuangkan janji-janjinya atau lupa.

"Perjuangan politik dan problematika politik itu perlu dibedakan," kata Fandi Utomo.

Diakui Fandi, sistem pemilu terbuka memang menimbulkan persoalan, karena memilih orang-orang yang berkompeten dan berintegritas itu tidak menjadi parameter utama. Kata dia, parameter yang digunakan adalah popularitas dan elektabilitas yang tak inlainder dengan integritasnya. Namun di sisi lain sistem terbuka juga memiliki kelebihan yaitu mendekatkan pemilih dengan wakilnya.

"Jadi kalau mau perbaikan ya dimulai dari pemerintahan dulu lah," tambah dia.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO