Bung Tomo, antara Kota Pahlawan dan Kota Teknopolitan

Bung Tomo, antara Kota Pahlawan dan Kota Teknopolitan


Bung Tomo – wartawan dan pejuang kemerdekaan asal kota Surabaya – akhirnya diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional. Pemberian gelar pahlawan ini diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada10 Nopember 2008 – bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.

Pengakuan formal ini sebenarnya sangat ironis karena selain terlambat juga terkesan kurang ada upaya serius dari pemerintah Surabaya untuk memperjuangkan tokoh kebanggaan arek-arek Suroboyo itu. Padahal jasa Bung Tomo sangat jelas. Dalam pertempuran melawan penjajah di Surabaya nama Bung Tomo terukir sebagai salah satu tokoh yang berperan strategis terutama karena ia berprofesi sebagai wartawan radio. Bahkan Bung Tomo inilah yang konon membacakan fatwa jihad Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di radio sehingga tersosialisasi dengan baik. Fatwa yang dikenal sebagai resolusi jihad kemudian memang benar-benar jadi energi hebat yang turut membakar semangat arek-arek Suroboyo. Bahkan orang-orang Madura, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur spontan bergerak menuju Surabaya, begitu mendengar seruan jihad dari Kiai Hasyim Asy’ari. Gerakan jihad mereka terkonsentrasi di Surabaya sehingga pasukan Inggris kocar-kacir, termasuk Jenderal Mallaby yang kemudian tewas. Sejarah juga mencatat bahwa pekik Allahu Akbar identik dengan Bung Tomo. Posisinya sebagai wartawan yang menguasai media komunikasi, terutama radio, memang memungkinkan Bung Tomo tampil progresif dan massif untuk menggelorakan semangat perlawanan dengan pekik Allahu Akbar. Bung

Bung Tomo sering berkomunikasi dengan Kiai Hasyim Asy’ari, terutama dalam upaya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Bahkan sekitar tahun 70-an Bung Tomo sempat bermain ke Pesantren Tebuireng dan bernostalgia dengan para santri. ”Saya biasanya duduk-duduk di sini ini ,” ungkap Bung Tomo sambil menunjuk teras masjid Tebuireng. Maksudnya, sebelum diterima Kiai Hasyim Asy’ari di ndalem Bung Tomo biasanya duduk di tangga masjid sambil menunggu giliran dipanggil.

Dalam perspektif psikoreligius pekik Allahu Akbar sangat urgen dan determinan karena secara fungsional bisa membakar semangat ilahiah dalam perang melawan penjajah. 


Ironisnya, pada Orde Baru, pekik Allahu Akbar ini sempat dimanipulasi dan disembunyikan dari buku-buku sejarah SD, SLTP dan SLTA. Dalam buku-buku pelajaran itu tak ada pekik Allahu Akbar yang menggelora. Begitu juga peran besar tokoh keagamaan direduksi sedemikian rupa sehingga mereka seolah kurang berperan dalam perang kemerdekaan melawan penjajah. Tapi karena sejarah sejatinya tak bisa dimanipulasi, maka kebenaran sejarah juga yang kemudian mengoreksi berbagai manipulasi sejarah. 

The Secular City

Ada pertanyaan dari publik, kenapa Pemerintah Kota Surabaya ketika dipimpin Walikota Bambang DH dari PDIP itu terkesan kurang serius memperjuangkan Bung Tomo sebagai pahlawan. Benarkah ada unsur politis? Wallahu’alam. Yang pasti, kita bisa mencermati perkembangan Kota Surabaya dalam 10 tahun terakhir ini. Kota terbesar kedua setelah Jakarta ini telah mengalami pergeseran orientasi luar biasa. Jika 10 tahun sebelumnya Kota Surabaya masih mengapresiasi karakter kultural dan nilai-nilai ke-surabaya-an, maka 10 tahun terakhir ini justeru sebaliknya. 

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO