Bung Tomo, antara Kota Pahlawan dan Kota Teknopolitan

Bung Tomo, antara Kota Pahlawan dan Kota Teknopolitan

Salah satu indikator yang paling gampang dicermati adalah peringatan peristiwa pertempuran 10 Nopember yang mengantarkan kota ini mendapat gelar kehormatan dan kebanggaan sebagai kota pahlawan. Dalam 10 tahun terakhir ini tak ada acara yang secara khusus mengapresiasi peringatan bersejarah itu. Padahal sebelumnya Pemkot selalu memperingati peristiwa 10 Nopember dengan gegap gempita. Bahkan selalu menghadirkan pelaku sejarah seperti Roeslan Abdulgani (sewaktu masih hidup). Akibatnya semangat kepahlawanan kurang terinternalisasi dengan baik bagi generasai muda Surabaya .

Kini Kota Surabaya memang sudah berubah karakter. Kota Surabaya tidak hanya jadi kota metropolitan tapi secara serius merambah sebagai kota teknopolitan. Dalam terminologi Harvey Cox, istilah teknopolitan identik dengan the secular city. Menurut Cox, ada dua ciri utama yang menjadi karakter kota bercorak sekuler atau teknopolis. Yaitu, pragmatisme dan profanitas.

Dalam perspektif pragmatisme, dunia tidak dilihat sebagai suatu kesatuan metafisik, sebaliknya dipahami sebagai proyek dan masalah. Sedang profanitas merefer pada kecenderungan manusia sekuler dan unreligious.(Cox:1967).

Karena itu mudah dipahami jika Kota Surabaya kini lebih berorientasi pada pembangunan pusat-pusat perbelanjaan seperti mal dan sebagainya, ketimbang melestarikan gedung-gedung bersejarah yang menjadi ciri utama kota pahlawan. Bahkan kota Surabaya yang sejatinya kaya nuansa kultural kepahlawanan ternyata tak punya ”pos budaya” yang layak diandalkan. Ya, kini Surabaya kering kerontang, seolah tanpa nilai sejarah.

Pragmatisme dan profanisasi ini tampaknya akan kian deras menimpa kota ini terutama karena praktik ekonomi rent-seeking berkembang pesat. Fenomena yang paling telanjang bisa kita saksikan dalam kasus perijinan pembangunan pusat bisnis dan fasilitas-fasilitas lain kepada para konglomerat.

Dalam theory of economic rent-seeking, para pengusaha bisa menerabas kekuasaan lewat jalur khusus. Dalam arti, pihak penguasa memberikan lisensi khusus kepada pengusaha tertentu untuk melakukan monopoli dan fasilitas lainnya. Monopoli ini dilakukan konglomerat sehingga tidak ada pemihakan terhadap kelompok ekonomi lemah (Didik J Rachbini, 2005).

Demikianlah, tampaknya pergeseran orientasi Kota Surabaya ini akan terus berlangsung. Apalagi sampai kini belum ada lembaga kontrol signifikan, baik formal - seperti DPRD - maupun informal - seperti LSM - yang peduli terhadap otensitas kultural Surabaya, untuk mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO