Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
Walaa taquuluu limaa tashifu alsinatukumu alkadziba haadzaa halaalun wahaadzaa haraamun litaftaruu ‘alaa allaahi alkadziba inna alladziina yaftaruuna ‘alaa allaahi alkadziba laa yuflihuuna (116). Mataa’un qaliilun walahum ‘adzaabun aliimun (117).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Dari ayat ini, kita tahu bahwa dalam tradisi kita terdapat ritual yang aneh-aneh atas nama budaya dan warisan leluhur. Di negeri ini banyak sekali kepercayaan macam itu. Semisal Bali, sungguh paling kaya acara macam ini, sehingga pemeluk agama di sana banyak sambat karena banyak biaya yang harus dikeluarkan. Termasuk Toraja, Jawa dan di tempat lain. Sebuah jurnal melaporkan, di daerah yang kaya seni dan budaya, wisata dan hiburan, ternyata Bali adalah daerah paling banyak orang gilanya yang dipasung dan dikucilkan.
Jika kita merujuk Al-Qur'an yang berdialog dengan budaya arab waktu itu seperti ditera ayat kaji ini (116), maka kita dihadapkan pada pemikiran, apakah kreasi orang tua dulu itu pasti benar?
Allah SWT telah memberikan jawaban tegas, jika semua itu mengada-ada, bukan aturan Allah. Artinya, banyak sekali karangan tetua adat dan para dukun mengatasnamakan Tuhan, sehingga punya kekuatan mengikat dan diyakini.
Lalu, lambang itu dimaknai sehingga terkesan luar biasa, mendalam, filosufis, sekaligus mengada-ada. Namanya pemaknaan, ya terserah siapa yang memaknai. Mau dipositif-positifkan, bisa. Mau diburukkan, juga bisa. Mau dianggap biasa, juga bisa. Bahkan tidak usah dimaknai juga bisa. Terserah apa kepentingannya.