Tafsir An-Nahl 99-100: Dulu, NU Mengharamkan Shalati Koruptor, Sekarang?

Tafsir An-Nahl 99-100: Dulu, NU Mengharamkan Shalati Koruptor, Sekarang?

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Innahu laysa lahu sulthaanun ‘alaa alladziina aamanuu wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna. Innamaa sulthaanuhu ‘alaa alladziina yatawallawnahu waalladziina hum bihi musyrikuuna.

Al-Imam Fakhruddin al-Razy, penulis al-Tafsir al-Kabir, selain dipuji, juga dicaci. Karena tafsirannya melebar ke mana-aman, muncul komentar sinis "fih kull syai' illa al-tafsir". Maksudnya, bahwa dalam kitab al-Tafsir al-Kabir itu bahasan apa saja ada, kecuali tafsir itu sendiri. Namanya kementar, itu sah-sah saja. Terserah dari sudut mana seseorang memandang wilayah bertafsir, mau satu sisi atau banyak sisi. Karena gaya tafsir ini Aktual, maka bahasannya pasti melebar, mengikuti konteksnya.

Pesan ayat 99 dan 100 al-Nahl sungguh universal. Betapa di sana dijelaskan soal kesultanan (kekuatan) Syetan yang tidak mampu menembus orang-orang beriman, karena mereka ada dalam perlindungan Allah SWT, sehingga semua tindakannya selalu dalam bimbingan Tuhan (99). Syetan hanya mampu mengendalikan aktivitas rekanannya saja, sehingga budak syetan itu mudah dijerumuskan (100). Dari topik hamba Tuhan dan hamba Syetan ini, tafsir bisa melebar mengaktualkan diri, termasuk menyorot Hari Santri, petinggi NU, dukun penipu dan lain-lain.

Mau menyorot petinggi NU misalnya, ternyata perilaku kiainya, apalagi pengurusnya tidak sama. Ada yang shalih dan betul-betul berpegang teguh kepada amanah keulamaaan, sehingga berkarakter sebagaimana mestinya pewaris Nabi. Mereka itulah yang termasuk dalam sindir ayat 99. Mereka tidak mau dibeli oleh broker politik, sehingga kebebasannya tersandera. Sikapnya tegas dan berani berkata benar serta sangat siap menanggung resiko, termasuk dicoret dalam kepengurusan. Tidak apa-apa.

Ada juga yang menjadikan NU sebagai alat pemuas nafsu politiknya, sehingga tega berbuat sefasiq apa, yang penting tujuannya goal. Orientasi besar kelompok ini adalah kepentingan duniawi yang dibungkus dengan ritual politik ke-NU-an. Komunitas ini masuk dalam sindir ayat 100 dan syetan adalah penasesatnya.

Di sudut lain ada sosok kiai yang mendewa. Hobinya bersinggahsana di atas awan dan enggan turun gunung. Maunya ingin bisa diterima oleh semua pihak, maka kata-katanya filosufis dan sebatas pesan moral. Kiai tipe ini tidak mau mengambil resiko. Meskipun sudah tahu kalau umat sangat mendesak dan butuh ketegasan, arahan dan penyelesaian perkara, tetap saja berfatwa mengambang dengan puisi dan kata-kata bijak yang diuntai dengan seribu pemanis.

Ada pezaliman yang nyata terjadi di hadapannya, kiai macam ini cenderung menasehati agar orang yang dizalimi tetap sabar, berlaku santun, jangan anarkis tanpa mencegah tangan orang yang menzalimi sedikit pun. Jadinya, kezaliman terus terjadi tanpa penyelesaian. Sikap macam ini pasti keliru dan sangat tidak proporsional. Itu bukan tindakan ulama yang pewaris Nabi, tapi pewaris Budha. Karena ajaran Budha berfilsafat begini: "Jika pipimu yang kanan ditanpar, maka berikan pipimu yang kiri juga". Yo nyonyor cak!. Sedangkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak demikian. Kita wajib menghentikan tangan-tangan yang berbuat zalim.

Saat warga NU Jakarta membutuhkan fatwa hukum soal pilgub, di mana salah satu calonnya ada yang nonmuslim, kiai tipe ini sebatas memberi nasehat moral, bukan panduan memilih sesuai syariah islam. Padahal yang dibutuhkan adalah keputusan memilih pemimpin sesuai syari'ah islam. Dawuhnya sebatas begini: “Jangan berlebihan bertindak, berlebihan itu zalim, berbuatlah yang santun, jangan saling menghujat, warna putih itu bisa kelihatan, jika ada di antara yang hitam. Bagaiamana bisa terlihat jika semuanya menjadi hitam, dan seterusnya.”

Sekali lagi, jika ada kiai macam ini, ustadz macam ini, maka sesungguhnya dia lebih memerankan diri sebagai budayawan, sebagai artis ketimbang sebagai seorang ulama' yang faqih, pewaris Nabi.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO