Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Hajj': 27. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
27. Wa ażżin fin-nāsi bil-ḥajji ya'tūka rijālaw wa ‘alā kulli ḍāmiriy ya'tīna min kulli fajjin ‘amīq(in).
Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.
TAFSIR
Beberapa tahun silam, negeri ini dikejutkan dengan istilah haji nunut. Seorang laki-laki menyelinap masuk di barisan robongan jamaah haji yang hendak terbang melalui bandara Juanda Surabaya. Dan berhasil terbang menuju Arab Saudi bersama para jama’ah.
Di tengah jalan, seorang pramugari melihat dia mojok di kursi belakang dengan gelagat minder dan celingukan. Lalu ditanya: “Kursi bapak nomor berapa? Silakan duduk di sana saja?”.
Bukan main terkejutnya si pramugari mendengar jawabannya: “Saya tidak punya tempat duduk, lha wong saya nunut. Cukup duduk di sini saja, gak apa-apa kok mbak”.
Pramugari segera lapor ke kapten dan diteruskan ke pihak yang berwenang. Hasil keputusannya, pria nunut itu tidak diperbolehkan keluar pesawat. Sebab di bandara Arab nanti pasti berurusan dengan petugas imigrasi dan menimbulkan masalah. Lalu ikut terbang kembali ke tanah air.
Viral dan ramai, sehingga ada dermawan yang kasihan dan memandang pria nunut tersebut karena saking pinginnya beribadah haji. Dikiranya kayak nunut kereta barang atau gandol truk seperti di desanya. Akhirnya, pada tahun berikutnya dia diberangkan ke tanah suci.
Ini namanya nekat and ngawur, serta tidak boleh dicontoh. Agama-pun melarang, karena bisa menimbulkan masalah. Selain itu, haji belum wajib atas dirinya.
Meski begitu, ada sisi positifnya. Yaitu: Allah SWT sungguh maha kuasa dan ada-ada saja cara untuk memberangkatkan haji orang yang pingin banget, tapi miskin.
Karenanya, jangan sampai kita pasif terhadap ibadah haji. Sudah miskin, tidak punya niat kuat. Berapa banyak orang yang tidak mampu secara finansial untuk ibadah haji, tetapi kesampaian. Dan betapa banyak orang yang mampu, tapi tidak pernah haji sampai mati.
“ya’tuk Rijala”. Setelah dipanggil oleh Nabi Ibrahim A.S., mereka pada berdatangan ke Baitullah dari berbagai arah, dari yang dekat hingga yang jauh. Ada yang naik kendaraan bagi yang jauh dan ada yang berjalan kaki (rijal) bagi yang dekat.
Meskipun transportasi laut tidak disebutkan pada ayat ini, tetapi dikiyaskan dan itu ada pada jamaah haji negeri ini tahun enam puluhan.
Kata “Rijala” yang artinya pejalan kaki disebut duluan terkait kedatangan mereka ke Baitullah, hal itu karena mereka tetangga, rumahnya dekat dengan Baitullah, atau penduduk Makkah setempat. Naik sepeda ontel sebentar, sudah nyampai. Sepeda diparkir, lalu ditinggal ibadah.
Tapi kalau naik sepeda ontel dari negeri ini ke Makkah, melintasi barbagai negara dan menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan lain-lain, apakah itu baik? Sama sekali tidak.
Tuhan tidak menghendaki syari’ah-Nya dikerjakan sesoro itu. Dianjurkan yang mudah-mudah saja. Biasanya, pelaku ngontel begini ini lebih pada memburu sensasi, ketimbang ta’abbudi.
Ini berbahaya, andai di tengah perjalanan, lalu ada sesuatu yang menimpa, mungkin fisik sedang ngedrop karena nekatnya, ada wabah di negeri yang dilintasi, lalu meninggal dunia. Mati apa? Mati baik, karena murni perjalanan ibadah atau mati tidak baik karena nekat, semi bunuh diri, sensasi, dll?
Apapun warna kematiannya, itu urusan Tuhan. Kita wajib mendoakan, semoga diampuni.
Dulu ada sahabat yang ngoyo melakukan ibadah haji, tidak membawa bekal cukup, sehingga meminta-minta di sepanjang perjalanan. Bisa jatuh sakit saat waktunya mengerjakan rukun penting dan dimarahi oleh Nabi melalui teguran Tuhan. Harus berbekal yang cukup. (Al-Baqarah:197).
Mereka yang bermodal banyak demi kesuksekan, kenyamanan, dan kesempurnaan ibadah haji, hotel bagus, sarana bagus, maka uang yang dibelanjakan untuk keperluan tersebut dihitung sebagai jihad, berpahala. Sama-sama pelaksaan ritual hajinya sama, tapi karena biaya kosnya beda, rasanya pahalanya juga berbeda.
Kata “rijal” di sini sebagai bentuk jamak dari kata “Rajil”, pejalan kaki. Kayak kata “shahib” dengan jamak “Shihab”. Meskipun bisa sebagai jamak dari kata “rajul”, laki-laki. Tapi tidak cocok. Dulu ada penulis yang salah paham. Kata “rijal” pada ayat ini diartikan “berlaki-laki”. Semoga Allah SWT mengampuni.











