Tafsir An-Nahl 99-100: Sementara, Syetan Unggul di DKI Jakarta

Tafsir An-Nahl 99-100: Sementara, Syetan Unggul di DKI Jakarta

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Innahu laysa lahu sulthaanun ‘alaa alladziina aamanuu wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna. Innamaa sulthaanuhu ‘alaa alladziina yatawallawnahu waalladziina hum bihi musyrikuuna.

Ayat kaji sebelumnya bertutur soal perintah mengusir syetan dari ruang ibadah membaca al-Qur'an. Ruangan itu, suasana itu, jiwa itu harus lebih dahulu steril dari seluruh elemen persyetanan agar pembacaan al-Qur'an berjalan sesuai yang diinginkan Tuhan. Lalu pembacanya menjadi terenyuh dan tersenyum dalam suasana religius berbalut kalamullah yang suci, lalu menjadilah jiwa itu makin suci setelah disucikan oleh Kalam yang suci.

Ayat ini ibarat implementasi dari pesan ayat sebelumnya terkait orang-orang beriman. Bahwa syetan tidak boleh ada menguasai orang-orang beriman dalam bidang apapun. (innahu lais lah sulthan 'ala al-ladzin amanu). Dengan kata lain, orang beriman sama sekali tidak boleh menggunakan referensi syetan dalam bidang apapun. Sebab arahan syetan pastilah buruk menurut pandangan Tuhan. Tidak boleh ada arahan syetan yang masuk dalam teologi, tidak dalam pendidikan, ekonomi, kebudayaan apalagi politik. Semua tindakan orang beriman harus merujuk kepada-Nya, "wa 'ala Rabbihim yatawakkalun".

Ayat selanjutnya (100) menyatakan, bahwa syetan hanya bisa menguasai para cecunguknya saja (innama sulthanuh 'ala al-ladzin yatawallawnah) dan juga pada orang-orang musyrik, kafir, munafik, murtad dan sebangsanya (..wa al-ladzin hum bih musyrikun).

Artinya, jika seorang muslim tidak lagi menggunakan keislaman sebagai acuan utama dalam berpolitik, dalam memilih pemimpin, dalam memilih pejabat publik, maka dia pasti bukan orang beriman sungguhan. Jika seorang muslim tidak rela ekonomi, pemberitaan, pendidikan, kebudayaan dikuasai nonmuslim, maka tandanya dia muslim sungguhan. Hal itu karena masih ada ketidakrelaan di hatinya dikuasi nonmuslim, meski kurang berdaya. Lalu berupaya bangkit dan merebut dengan sekuat tenaga. Itulah yang disebut dengan "ghirah" keimanan.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO