Tafsir An-Nahl 97: Menteri Olahraga yang "Tidak Islami"

Tafsir An-Nahl 97: Menteri Olahraga yang "Tidak Islami" Presiden Joko Widodo foto bersama atlet bulu tangkis Tontowi Ahmad (kiri) dan Lilyana Natsir (dua kiri) serta atlet angkat besi Sri Wahyuni (dua kanan) dan Eko Yuli Irawan (kanan) ketika bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Man ‘amila shaalihan min dzakarin aw untsaa wahuwa mu/minun falanuhyiyannahu hayaatan thayyibatan walanajziyannahum ajrahum bi-ahsani maa kaanuu ya’maluuna.

Ayat studi kemarin (97) bicara soal orang yang beramal shalih dan beriman akan diberi kehidupan yang sangat bagus saat di dunia (hayah thayyibah), sedangkan di akhirat nanti akan mendapat balasan yang jauh lebih baik. Biasanya, ayat tentang iman dan amal shalih, redaksinya mendahulukan keimanan, baru amal shalih (al-ladzin amanu wa 'amilu al-shalihat). Sifatnya juga umum tanpa menunjuk jenis kelamin, pria dan wanita. Tapi pada ayat studi ini beda. Disebut dulu prestasi amal shalih ('amila shaliha), jenis kelamin (min dzakar aw untsa), baru keimanan (wahuw mu'min). Filosufisnya, kira-kira begini :

Pertama, Tuhan ingin memberitahu soal kesungguhan-Nya memberikan nilai dan penghargaan kepada umat manusia secara deatail dan rinci, sehingga tidak ada suatu amal yang sia-sia di hadapan-Nya. Dia merespon amal yang konferhenship, juga yang parsial. Sekecil apapun, tetap disikapi, tetap dihitung sesuai kebijakan. Tuhan jauh melampaui pedagang besar yang melayani eceran dan grosiran.

Kedua, menunjuk keadilan-Nya yang lintas apa-apa, tanpa memandang jenis kelamin. Hal itu sebagai koreksi terhadap tradisi jahiliah yang memandang kaum wanita dengan sebelah mata, dan Ketiga, memacu individu, pria maupun wanita agar berprestasi dan terus berprestasi dalam bidang kebaikan. Kini persoalannya, bagaimana kita beradil-adil dalam menghargai prestasi seseorang.

Bangsa ini menyaksikan, betapa pemerintah lewat Menteri Pemuda dan Olahraga memberi penghargaan fantastis kepada anak bangsa yang yang berprestasi meraih medali di ajang olimpiade 2016 di Brazil kemarin. Peraih medali emas mendapatkan hadiah lima miliar rupiah plus tunjangan hidup 20 juta per bulan selama hidup. Peraih medali perak dan perunggu di bawah itu. Kita perlu apresiasi setinggi-tingginya atas penghargaan ini. Ini perhargaan terhebat sepanjang sepanjang sejarah dan tidak pernah diberikan kepada juara apapun, di tingkat apapaun sebelumnya.

Itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan pujian berlebih, Owi dan Butet, pasangan ganda campuran badminton ini disanjung-sanjung sebagai pahlawan, mengharumkan nama bangsa dan seterusnya. Parameter pahlawan itu apa, mengharumkan nama bangsa itu kreterianya apa. Jika yang dimaksud mengharumkan nama bangsa itu setiap kali juara di tingkat internasional, maka harus adil dan tidak boleh pilih kasih, tidak boleh menyanjung satu anak dan menganak-tirikan anak yang lain.

Ternyata, dalam perumusannya, otak penguasa negeri ini lebih memuja-muja dan mendewakan sektor main-main, perlombaan, kemaksiatan, olahraga, utamanya yang populis, ketimbang pada keilmuan, apalagi keagamaan. Juara menyanyi, kontes kecantikan, berjoget yang notabenenya cenderung maksiat, termasuk olahraga yang "tidak ada manfaatnya" menurut pandangan agama, bahkan dilarang Allah SWT, justru malah diidolakan, dihargai besar dan dielu-elukan.

Memang, sehat adalah perintah agama, tapi berprestasi dalam olahraga tidak mesti terkait agama. Olahraga adalah main-main yang bersifat pribadi, berkeringat sendiri, sehat-sehat sendiri dan tidak ada manfaat yang ditebar kepada orang lain. Tanding dalam olahraga cenderung nafsu serta berpotensi hasud antar sesama. Ini, sungguh merusak nurani ketakwaan, meski juga ada guna, seperti menggalang persatuan dan persaudaraan. Benar, kesatuan saat berkumpul bersama dalam acara seremonial belaka, tapi hakikat di dalam hati adalah permusuhan dan saling ingin mengalahkan. Bahkan jika mungkin, menang dengan segala cara.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO