"Melarang partai politik, pasangan calon yang memasang foto Presiden Republik Indonesia untuk keperluan penyelenggaran Pilkada pada semua tahapan dan khususnya tahapan Kampanye dengan modus dan alasan apapun juga," sebut Arteria.
Pihaknya berkesimpulan bahwa terpasangnya gambar Presiden Jokowi sebagai pejabat negara dalam bahan kampanye pasangan calon tertentu secara nyata telah menguntungkan pasangan tersebut dan berpotensi merugikan pasangan calon lainnya. Oleh karena permasalahan tersebutlah DPR RI membuat aturan norma di PKPU Kampanye.
Konsekuensi dari aturan itu, Arteria menyebut Jokowi harus memastikan bahwa keberadaan maupun kehadirannya di hadapan publik tidak berpihak atau imparsial. Ini sekaligus meyakinkan publik bahwa Jokowi tidak terlibat dalam kegiatan pendukungan secara terbuka terhadap pasangan tertentu.
"Konstitusi kita telah mengkonstruksikan bahwa presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan diposisikan sebagai figur pemersatu bangsa dan milik semua rakyat, semua golongan, semua kaum," tegas politisi PDIP itu. Jika kemudian yang bersangkutan dianggap partisan pendukung pasangan calon dan oleh karenanya dapat berimplikasi pengenaan sanksi pidana bagi Presiden.
Apalagi jika Jokowi terbukti menyetujui, membiarkan, atau tidak menyatakan keberatannya atas penggunaan gambarnya dalam bahan kampanye maupun alat peraga kampanye calon pasangan kepala daerah. Untuk itu ketegasan Jokowi dinilai Arteria sangat dibutuhkan.
"Saya pribadi menyarankan sebaiknya Presiden Jokowi segara memberikan sikap jelas dengan menolak penggunaan gambar dirinya oleh pasangan calon tertentu dalam Pilkada," sarannya. Langkah itu juga untuk memastikan agar tidak terkesan pembiaran ataupun keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon kata Arteria di akhir pembicaraannya. (dtc/dio)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News