Tafsir Al-Nahl 90: Shalat Tanpa Tumakninah Tidak Sah

Tafsir Al-Nahl 90: Shalat Tanpa Tumakninah Tidak Sah ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Inna allaaha ya'muru bial’adli waal-ihsaani wa-iitaa-i dzii alqurbaa wayanhaa ‘ani alfahsyaa-i waalmunkari waalbaghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruuna".  

Masih soal shalat tarawih super cepat, sebagaimana ditayangkan di televisi dan berkeliaran di media sosial. Bisa dibayangkan, shalat tarawih 20 rakaat plus 3 witir hanya memakan waktu sekitar 7 menit sungguh gerakan apa itu. Jauh lebih lama merokoknya ketimbang tarawihnya. Pergantian gerak dari berdiri ke ruku', i'tidal, sujud, duduk, sujud, bangun dan berdiri cepat sekali, lebih cepat dari tarian Saman gadis-gadis agresif. Jangan ditanya soal bacaannya, apalagi bacaan dalam ruku', duduk dan sujud. Walhasil, gerakan itu brutal sekali dan sama sekali tidak mencerminkan shalatnya orang beriman. Sama sekali jauh dari tuntunan Nabi, sama sekali jauh dari apa yang dikehendaki al-Qur'an dan al-Hadis.

Penulis sangat kasihan kepada imam shalat itu, betapa sengsaranya nanti di akhirat ketika diminta pertanggungjawaban atas kelakuannya menjadi imam shalat tarawih super bejat. Shalat model itu sungguh merugikan para makmum dan kelak mereka pasti menuntut imamnya agar bertanggungjawab, karena ternyata buku amal kosong tanpa pahala tarawih. Itu pasti dan pasti. Penulis juga menyayangkan kawan-kawan yang komentarnya positif dan mengatakan shalat itu shah karena tidak ada yang dilanggar menurut syari'ah. Benarkah demikian?.

Alasan lain, kenapa tarawih brutal itu dilestarikan dan generasinya tidak mau mengubah menjadi tarawih berkualitas? Pengakuannya, hal itu karena sudah menjadi warisan dari kiainya dulu dan sudah berjalan bertahun-tahun. Berikut ini sebuah paparan terkait hal tersebut :

Pertama, soal tumakninah dalam shalat. Tumakninah adalah "sukun ba'd harakah". Kondisi diam tanpa gerakan, setelah melakukan gerakan. Jadi, setelah usai melakukan suatu gerakan -ruku' mislanya - , maka harus ada kondisi "off", diam beberapa detik, baru melakukan gerakan selanjutnya, yakni iktidal. Tumakninah itu berfungsi sebagai sela yang signifinkan antara dua gerakan. Begitu jidat atau dahi telah sempurna menyentuh tanah (tempat sujud), maka harus diam sejenak (tumakninah), baru bangun. Bukan langsung bangun setelah dahi menyentuh tanah.

Seberapa lama ukuran tumakninah itu?. Tuntunan populer seukuran membaca "subhan Rabbiy al-a'la wa bihamdih" untuk sujud atau "subhan Rabby al-adhim wa bihamdih" untuk ruku', minimal dibaca sekali, meski idealnya tiga kali. Ingat dan ingat, ini membahas ukuran lama, jeda waktu, maka yang dipakai adalah standar "MEMBACA", bukan membatin. Membaca adalah membunyikan huruf per huruf sesuai karakternya, sehingga melahirkan rentang waktu, bukan membatin atau dibatin pakai hati. Sebab dibatin tidak melahirkan rentang waktu. Karena hati bisa membatin sesuatu hanya dalam seper seribu detik.

Tumakninah itu lalu dipraktikkan oleh Nabi pada setiap kali beliau mengerjakan shalat. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah mengontrol praktik shalat yang dilakukan oleh seorang sahabat, lalu mengoreksinya, menegur dan memberi tuntunan.

Dalil tumakninah adalah Hadis Shahih riwayat al-Bukhary (724) dan Muslim (397) dari Abu Hurairah R.A. dikatakan: Seorang sahabat shalat di masjid dan Nabi memperhatikan dari awal hingga selesai. Selesai shalat, Nabi menegur sahabat tersebut dengan teguran tegas sekali: "Irji' fa shalli, fa innak lam tushalli". Ulangi shalatmu, sesungguhnya kamu itu belumlah shalat. Lelaki itu menurut dan mengulangi lagi shalatnya, sementara Nabi terus mengawasi.

Usai salam, Nabi memarahi lagi dan mengatakan kata-kata yang sama: "Irji' fa shalli fa innak lam tushalli". Lelaki itu menurut dan shalat lagi, sementara Nabi terus mengawasi. Selesai shalat, Nabi memarahi lagi dan mememerintahkan mengulang shalat dengan bahasa yang sama: "Irji' fa shalli fa innak lam tushalli".

Karena sudah dilakukan tiga kali dan tetap disalahkan, dianggap tidak sah oleh Nabi, maka lelaki itu menyerah. Dengan wajah memelas dia berkata: "Ya Rasulallah, demi Dzat Allah yang mengutus engkau dengan membawa agama yang benar, sungguh saya tidak bisa shalat lebih baik dari ini. Sungguh saya tidak mengerti, maka mohon ajarilah aku".

Nabi, lantas memberi tuntunan. "..... tsumma irka' hatta thatma'inn raki'a". (Lalu ruku'lah sampai kamu benar-benar tenang dalam kondisi ruku'). "Tsumm ifra' hatta ta'tadila qa'ima" (kemudian bangunlah dari ruku' sehingga kamu benar-benar tegak berdiri). "Tsumma usjud hatta tathma'inn sajida" (Kemudian sujudlah sehingga kamu benar-benar tenang dalam kondisi sujud). Tsumma irfa' hatta tathma'inn jalisa" (Kemudian bangunlah dari sujud sehingga kamu benar-benar tenang dalam kondisi duduk). "Tsumma usjud hatta tathma'inn sajida" (Kemudian sujudlah, sehingga kamu benar-benar tenang dalam kondisi sujud). Lakukanlah apa yang aku tuntunkan kepadamu ini pada setiap shalatmu.

Selanjutnya, para ulama ahli Hadis menjuduli Hadis ini dengan " Khabar al-Musy' Shalatah", Hadis tentang orang yang shalatnya jelek. Dari judul yang diberikan oleh ulama ahli Hadis saja sudah bisa dibaca soal kualitas shalat tersebut sebagai shalat yang sangat buruk dan gugur menurut pandangan Nabi. Berikut dipapar syarh al-Hadis, yakni :

Pertama, keputusan Nabi dengan mengatakan: "ulangi shalatmu, sesungguhnya kamu belum shalat" jelas sekali menunjuk shalat si lelaki tersebut tidak shah secara mutlak, batal dan tidak berefek apa-apa. Andai shalat tersebut dianggap sudah shah, maka tidak mungkin Nabi menyuruh mengulang, mengulang dan mengulang.

Bila anda menempuh ujian mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), lalu anda melakukan ujian praktik berkendara di arena Satlantas yang ditentukan, sementara pak polisi mengawasi dan melakukan penilaian, lalu memutuskan bahwa anda harus mengulang, maka apa artinya itu?. Sebodoh-bodoh orang pasti bisa berpikir, bahwa anda tidak lulus. Ada kesalahan yang anda lakukan dan tidak bisa ditolerir sehingga anda gagal mendapatkan SIM.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO