Seorang penulis dan teoretikus politik, Fajar.
Oleh: Fajar
Kedungkandang tidak hanya bentangan wilayah administratif di pinggiran Kota Malang. Lebih dari itu, di dalamnya menyimpan dinamika sosial yang jauh lebih kompleks: perjumpaan antara tradisi dan modernitas, antara iman sebagai etika-hidup dan politik sebagai alat-perebutan-pengaruh.
Jika melihat tipologi sosial masyarakat Kedungkandang dengan bukti-bukti yang bersifat kualitatif-sosiologis melalui teori dari Max Weber, Clifforrd Geertz, Pierre Bourdieu, dan Anthony Giiddens dapat diikhtisarkan bahwa Kedungkandang terdiri dari 5 (lima) corak masyarakat: religius kultural menempati urutan pertama, posisi berikutnya ditempati nasionalis populis, lalu religius ideologis, pragmatis-urban, dan yang terakhir adalah kritis-intelektual.
Di ruang semacam ini (karena kelompok religius kultural mendominasi ruang publik), politik tidak selalu hadir dalam bentuk ideologi besar, tapi dalam bahasa sehari-hari, relasi personal, dan simbol-simbol yang akrab bagi masyarakat.
Sebagai kawasan urban-perifer, Kedungkandang berada di antara dua dunia; ia bukan desa dalam pengertian klasik, tetapi juga belum sepenuhnya kota dalam arti rasional-birokratis. Tradisi komunal masih hidup di wilayah ini pengajian, sholawatan, tahlilan, yasinan, haul akbar, dan kerja bakti namun denyut kota juga terus mengalir melalui mobilitas kerja, proses belajar-mengajar di sekolah, dan media sosial. Dalam situasi semacam ini, iman tidak sekadar menjadi urusan privat, juga perekat sosial yang menjaga kohesi warga.
Pada titik inilah dapat ditarik kesimpulan bahwa religiusitas masyarakat Kedungkandang terutama bersifat kultural: ritus-ritus dipraktikkan sebagai kebiasaan kolektif yang menenangkan, bukan sebagai doktrin yang menghakimi.
Ia hadir dalam bahasa yang lunak, dalam doa-doa bersama, dan dalam kesediaan untuk saling membantu. Karena itu, agama di Kedungkandang jarang tampil sebagai ideologi yang keras. Ia lebih menyerupai etika sosial panduan tak tertulis tentang bagaimana hidup berdampingan.
Namun, justru di titik inilah politik menemukan ruangnya. Politik lokal tidak datang dengan pidato besar tentang sistem dan ideologi, tapi menyusup melalui jaringan sosial: tokoh kampung, kegiatan keagamaan, dan janji-janji kesejahteraan yang dikemas dalam bahasa moral. Politik berbicara dengan bahasa iman, bukan untuk memperdalam makna iman itu sendiri, melainkan untuk memperoleh legitimasi.
Maka di sinilah terjadi pertarungan makna. Iman yang semula berfungsi sebagai etika sosial, perlahan bergeser dari tempat yang semestinya. Dalam kondisi tertentu, masyarakat tidak lagi menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan program atau visi, tapi berdasarkan kedekatan simbolik: siapa yang dianggap paling “dekat” dengan nilai-nilai religius yang mereka pahami.
Dalam konteks ini, dominasi partai yang identik dengan tradisi-tradisi islam kultural sebagaimana kita mengenal Nahdlatul Ulama (NU) tidak dapat dibaca semata-mata sebagai kemenangan elektoral, melainkan sebagai kemenangan narasi kulural karena mereka tidak hanya menawarkan program, tapi menghadirkan dirinya sebagai “kita”: bagian dari denyut kehidupan relegius masyarakat. Politik tidak lagi dipahami sebagai pilihan rasional semata, juga sebagai kelanjutan dari praktik keagamaan dan solidaritas sosial.
Lalu pertanyaan besarnya adalah, kenapa kelompok nasionalis populis hanya bisa menempati urutan kedua? Padahal jika melihat parafrasa konseptual dari beberapa pemikiran Bung Karno (Membangun Dunia Kembali [1960], Tahun Vivere Pericoloso [1964], Jas Merah [1966] dan Di Bawah Bendera Revolusi) sudah dikatakan bahwa “Politik adalah alat. Ia bukan tujuan. Tujuan kita adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya.”
Sayangnya dalam konteks Kedungkandang, “alat” yang dimaksud sering kali lebih dahulu dirasakan ketimbang dipahami. Partai yang mampu melebur ke dalam praktik hidup masyarakat bukan sekadar kampanye akan lebih mudah dipercaya oleh suara mayoritas.
Partai yang identik dengan NU tersebut membaca kenyataan ini dengan sangat jeli: ia hadir dalam ritual, dalam simbol, dan dalam bahasa keagamaan yang akrab. Politik menjadi bagian dari keseharian, bukan sesuatu yang datang lima tahun sekali.
Sementara itu, partai nasionalis terutama mereka yang mewarisi ideoligis nasionalisme Bung Karno sering kali terjebak dalam jarak. Nasionalisme disampaikan dalam bahasa struktural, kadang elitis, dan kurang diterjemahkan ke dalam praktik kebudayaan lokal.
Padahal Bung Karno sendiri menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia tidak pernah anti agama: “Aku seorang nasionalis, tetapi aku juga seorang yang ber-Tuhan.”
Pernyataan tersebut menjadi sangat penting karena menunjukkan, bahwa nasionalisme sejati bukanlah penyingkiran iman dari ruang publik, melainkan penyatuan cita-cita kebangsaan dengan nilai kemanusiaan yang hidup di tengah rakyat.
Nasionalisme yang tidak berakar pada kebudayaan lokal akan kehilangan daya pikatnya, terutama di wilayah seperti Kedungkandang, di mana agama bukan sekadar keyakinan pribadi, tapi struktur sosial.
Dari sudut pandang filsafat politik, kondisi ini memperlihatkan bahwa pilihan politik masyarakat Kedungkandang lebih dekat pada apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni kultural.
Kekuasaan tidak bekerja melalui paksaan, melainkan melalui persetujuan melalui rasa “ini milik kita”. Partai bernuansa NU berhasil membangun hegemoni tersebut, sementara Partai Nasionalis masih berkutat pada dominasi struktural. Padahal Bung Karno telah lama mengingatkan: “Jangan sekali-kali meninggalkan rakyat.”
Sungguh kalimat itu bukan hanya slogan belaka, tetapi peringatan eksistensial. Meninggalkan rakyat bukan hanya soal hadir secara fisik, juga kegagalan partai memahami bahasa batin mereka itulah sebabnya yang harus direbut Partai Nasionalis bukan semata suara, melainkan makna.
Makna nasionalisme yang membumi, yang bisa duduk bersila di teras mushola, yang mampu berdialog dengan tradisi tanpa merasa terancam olehnya.
Sepanjang perjalanan saya melakukan pengamatan di Kecamatan Kedungkandang, akhirnya saya tiba pada sebuah kesimpulan: bahwa Kedungkandang sesungguhnya bukan wilayah yang menolak nasionalisme. Ia hanya menolak nasionalisme yang tidak berbicara dengan bahasanya sendiri. Tidak berbicara dengan bahasa mereka sehari-hari.
Fajar merupakan seorang penulis dan teoretikus politik






