Olimpiade Matematika di Bojonegoro Ricuh, Pemkab Minta Panitia Bertanggung Jawab

Olimpiade Matematika di Bojonegoro Ricuh, Pemkab Minta Panitia Bertanggung Jawab Olimpade di Bojonegoro berakhir ricuh, diduga panitia kurang siap dengan jumlah peserta yang banyak dan terkait penjurian yang tidak adil.

BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com - Olimpiade matematika tingkat SD/MI di Gedung Serbaguna Bojonegoro, Minggu (7/12/2025) berakhir ricuh. Kericuhan itu terjadi, setelah orang tua siswa memprotes atas dugaan penjurian yang tidak adil. Akibatnya, ribuan peserta yang hadir di lokasi, ikut panik saat wali murid masuk ke dalam gedung dan mencari anaknya.

Situasi ini semakin kacau, hingga akhirnya perlombaan itu dibatalkan. Polisi turun tangan menenangkan massa dan panitia dibawa masuk ke Polsek untuk dimintai keterangan.

Salah satu wali murid, berinisial RK mengatakan, keributan terlihat memuncak saat ratusan wali murid masuk ke dalam gedung.

“Sempat banyak anak-anak bingung dan mencari orang tuanya," kata wali murid.

Wali murid lain menyebutkan, bahwa sejumlah orang tua mengeluhkan panitia yang dianggap kurang siap mengelola acara dengan jumlah peserta yang begitu besar. Selain itu, wali murid menganggap bahwa acara tersebut, lebih berorientasi ke bisnis, karena setiap peserta diminta membayar biaya pendaftaran.

"Panitia kayaknya tidak profesional, sepertinya hanya bisnis. Kondisi sepertinya kok malah dilepas. Peserta ribuan kok model pelaksanaannya hanya begini, padahal bayar per peserta Rp 55 ribu," ujar wali murid lain, HG.

Ketua panitia dari Saryta Management, Ita Puspitasari menjelaskan, acara level 1 sebenarnya sudah selesai dan tinggal penyerahan hadiah, namun dua wali murid tiba-tiba masuk dari pintu samping dan memicu peserta lain ikut masuk sehingga kericuhan tak terhindarkan. Menurut panitia, awalnya semua kegiatan berjalan lancar sebelum insiden tersebut.

"Jadi level 1 sudah selesai dan sedang penerimaan hadiah. Tiba-tiba dari pintu samping itu ada wali murid yang dobrak masuk dan membuangi semua. Ada dua bapak itu yang saya lihat. Sehingga yang lain ikut masuk. Sebenarnya berjalan lancar awalnya," jelas Ita.

Setelah situasi tidak dapat dikendalikan, panitia memutuskan menghentikan level 2 dan level 3 serta akan melakukan koordinasi ulang dengan sekolah untuk menentukan langkah ke depan, termasuk opsi pengembalian biaya. Pembatalan ini membuat ratusan siswa yang sudah bersiap mengikuti sesi berikutnya harus pulang dengan kecewa.

"Untuk level 2 dan level 3 kami berhentikan, dan rencana akan kami lakukan pengembalian uang atau nanti kita akan gelar per kecamatan. Tapi kami masih akan koordinasi dengan pihak sekolah yang mendaftar," imbuh Ita.

Panitia mengakui bahwa jumlah peserta membengkak jauh lebih besar dari perizinan awal, sehingga persiapan lapangan dan pengawasan jadi tidak sebanding dengan jumlah peserta yang hadir. Lonjakan peserta itu juga membuat manajemen lokasi tidak terkendali.

"Untuk awalnya peserta yang kami laporkan ke pihak kepolisian saat mengajukan perizinan, ada sebanyak 1.000, tetapi satu hari sebelum pelaksanaan ternyata peserta bertambah menjadi 2.000," ungkap Ita.

Panitia menyampaikan bahwa setiap peserta membayar biaya pendaftaran dan sebagian dana dialokasikan untuk sekolah yang bekerja sama, sehingga penggunaan dana ini menjadi sorotan dari wali murid yang mempertanyakan transparansi penyelenggara. Informasi ini juga memperkuat kekecewaan peserta yang merasa tidak mendapatkan layanan sesuai biaya.

"Tiap peserta biaya pendaftaran 55 ribu, Dari nominal itu, juga sudah ada fee untuk kepala sekolah ," tutur Ita.

Wakil Bupati Bojonegoro, Nurul Azizah menilai, panitia tidak melakukan koordinasi apa pun dengan Dinas Pendidikan maupun Kemenag, sehingga mereka dinyatakan bersalah dan wajib bertanggung jawab atas kekacauan serta uang peserta yang sudah masuk.

Pemerintah daerah juga akan mengumpulkan pihak terkait karena masih ada lebih dari 1.300 peserta yang belum mengikuti lomba.

"Karena adanya aduan masyarakat tentunya ini harus segera ada solusi secara cepat. Apa pun panitia jelas salah. Karena tidak koordinasi dengan dinas pendidikan (Dindik) maupun Kemenag yang mempunyai fungsi dalam pendidikan di tingkat sekolah dasar dan MI," katanya. (rif)