Kenakan Sarung di Hari Jumat, Anggota DPRD Situbondo ini Dorong Regulasi Pakaian Dinas Kesantrian

Kenakan Sarung di Hari Jumat, Anggota DPRD Situbondo ini Dorong Regulasi Pakaian Dinas Kesantrian Anggota DPRD Situbondo, Muhammad Faisol.

SITUBONDO, BANGSAONLINE.com - Fenomena unik terlihat di lingkungan DPRD Situbondo. Sejumlah anggota dewan secara konsisten mengenakan sarung sebagai pakaian dinas, terutama setiap hari Jumat. 

Kebiasaan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan ini bahkan tetap mereka pertahankan saat menghadiri rapat-rapat penting.

Penggunaan sarung bukan sekadar tren sesaat, melainkan didasari oleh alasan utama, yakni kenyamanan. Para legislator meyakini bahwa pakaian yang nyaman dapat menunjang kinerja tanpa mengurangi kehormatan institusi. 

“Sebetulnya itu alasan kenyamanan,” kata salah satu anggota DPRD Situbondo, Muhamad Faisol, kepada BANGSAONLINE.com, Sabtu (11/10/2026).

Ia menjelaskan, inisiatif ini terinspirasi dari daerah lain seperti Bali, yang telah mengadopsi pakaian adat lokal sebagai pakaian dinas resmi. 

Semangat membumikan budaya lokal juga tercermin dalam kebijakan serupa di DPRD Jatim, yang mengenakan sarung pada peringatan Hari Santri. 

Bahkan, Peraturan Bupati (Perbup) Situbondo tentang Pakaian Dinas ASN telah mencantumkan Pakaian Dinas Harian Muslim atau Pakaian Khas Daerah untuk hari tertentu, sebagai bentuk dukungan terhadap budaya lokal.

Meski telah menjadi kebiasaan, penggunaan sarung sebagai pakaian dinas di DPRD Situbondo belum memiliki payung hukum resmi. 

Faisol menyadari pentingnya aspek legalitas dan kini tengah mendorong agar kebijakan ini diatur secara formal melalui Tata Tertib (Tatib) DPRD. 

“Saat ini memang belum ada cantolan hukum secara eksplisit, tetapi kami berinisiatif untuk segera memasukkannya dalam Tata Tertib Dewan. Ini penting agar kebijakan ini memiliki landasan formal dan menjadi bagian dari penguatan identitas daerah. Mudah-mudahan teman-teman sepakat, kalau menjadi inisiatif dan nyaman pakai pakaian kesantrian. Khusus DPRD dulu,” paparnya.

Menanggapi kekhawatiran soal citra dan profesionalisme, ia menegaskan bahwa pakaian hanyalah aspek eksternal yang tidak berkorelasi langsung dengan kualitas kerja. 

“Kalau pakaian eksternal sementara kinerja kekuatan internal, jadi minat, niat besar untuk mengabdi pada bangsa dan negara, saya kira tidak terpengaruh dengan eksternal,” ucapnya.

Ia berharap, inisiatif ini dapat menjadi contoh bahwa profesionalisme tidak selalu harus diukur dari pakaian yang kaku, melainkan dari dedikasi dan kontribusi nyata kepada masyarakat. 

Menurut dia, kenyamanan yang didukung oleh sentuhan budaya lokal justru dapat memperkuat semangat pengabdian dan identitas daerah. (sbi/mar)