Warga Mojoroto Kota Kediri Buat 150 Lengkong dari Pelepah Pisang, Tradisi Jawa yang Ramah Lingkungan

Warga Mojoroto Kota Kediri Buat 150 Lengkong dari Pelepah Pisang, Tradisi Jawa yang Ramah Lingkungan Kenduri dengan lengkong, upaya melestarikan tradisi tempo dulu yang ramah lingkungan. (Ist)

KOTA KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Kenduri menggunakan lengkong (sebuah wadah yang terbuat dari pelepah pisang) adalah tradisi kuno yang hingga saat ini masih dilestarikan oleh warga RT 1, RW 1, Kelurahan Mojoroto, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.

Kenduri ini biasa dilakukan saat Barikan Muharam, yakni tradisi menyambut datangnya Tahun Baru Islam.

Seperti pada Kamis (26/6/2025) sore, menjelang Tahun Baru Islam 1447 Hijriah, warga berbondong-bondong menghadiri prosesi Barikan Muharam dengan membawa berkat berupa makanan tradisional yang diwadahi lengkong.

Naim, Ketua RT setempat, mengakui bahwa lengkong merupakan tradisi tempo dulu, yang kini sebagian warga tidak tahu apa itu lengkong. Namun dengan adanya kenduri ini, warga jadi tahu, bahkan senang dengan tradisi ini.

Naim menceritakan, rencana menggunakan lengkong sebagai wadah makanan sudah dirundingkan sejak akhir Mei. Namun sempat dikhawatirkan warga tidak mampu membuat, mengingat jumlah yang cukup banyak, proses membuat yang cukup rumit. Namun berkat ajakan terbuka dari pengurus RT, para ibu-ibu, bapak-bapak, hingga muda-mudi akhirnya bergotong royong untuk membuat bersama.

Walau proses membuat lengkong tidak mudah, namun berkat niat menjaga zero waste dari warga yang sangat tinggi, sekitar 150 lengkong berhasil dibuat secara kolektif.

Menurut Naim, prosesi Barikan Muharam kali ini bukan sekadar seremoni, melainkan juga langkah awal RT 1 sebagai perwakilan Kelurahan Mojoroto dalam lomba zero waste Kota Kediri. Penunjukan ini menjadi bentuk apresiasi atas komitmen lingkungan warga RT 1 yang konsisten menekan penggunaan sampah anorganik.

Barikan di RT 1, lanjut Naim, bukan sekadar pelestarian tradisi. Ia berubah menjadi ruang edukasi, laboratorium sosial, dan momen untuk merekatkan kembali nilai-nilai lokal yang sempat terlupakan.

“Dari tidak tahu apa itu lengkong, jadi semangat membuatnya. Dari ribet bungkus berkat tanpa plastik, jadi sadar pentingnya zero waste. Inilah Lelaku Sae, jalan pelan-pelan, tapi bermakna,” tutup Naim bangga.

Lurah Mojoroto, Ahmad Koharudin, dalam sambutannya menyampaikan rasa kagumnya atas semangat warga dalam menyambut Tahun Baru Islam dengan konsep zero waste.

“Jadi zero waste itu kita upayakan agar tidak ada sampah terbuang. Lengkong ini luar biasa, tadi saya tanya ibu-ibu banyak yang belum tahu ini apa, tapi semangatnya luar biasa,” ujarnya.

Ahmad juga menyinggung kegiatan gotong royong gugur gunung yang dilakukan sebelumnya bersama seluruh RT dan RW se-Kelurahan. Dari makam hingga tumpeng kirab, semangat kebersamaan jadi nafas kegiatan.

Sholeh, sesepuh kelurahan menutup rangkaian sambutan dengan tausiyah tentang makna Muharam, barikan, dan kebersamaan. Menurut Sholeh, tradisi Barikan bukan sekadar kumpul-kumpul, tapi pengingat bahwa kita tidak boleh makan sendirian.

“Rasulullah SAW pun mencontohkan bahwa makan bersama keluarga, bersama anak-anak, bersama sesama, itu lebih utama. Bahkan beliau bersabda, semakin banyak tangan dalam satu hidangan, semakin berkah makanan itu,” tutur Sholeh.

Dahulu, lanjut Sholeh, orang tua kita punya kebiasaan yang sangat menyentuh, mereka duduk bersama, kaki dilipat, satu diduduki, kepala saling bersandar. Tidak ada sekat antara pejabat dan rakyat, antara yang muda, dan yang tua, semua menyatu lewat makanan.

“Inilah nilai yang ingin kita hidupkan kembali. Kebersamaan, kesederhanaan, kehangatan,” pungkasnya. (uji/msn)