
JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Prof Martin van Bruinessen dikenal luas sebagai antropolog asal Belanda yang sangat populer di Indonesia. Martin sangat intensif mengamati NU. Bahkan Martin tidak sekedar pengamat NU tapi juga banyak meneliti sekaligus menulis tentang NU serta khazanah pesantren.
Karena itu guru besar kelahiran 10 Juli 1946 itu sangat familiar di NU. Apalagi Martin sangat rajin hadir ke Muktamar NU, terutama ketika Gus Dur menjabat ketua umum PBNU selama tiga periode.
Salah satu buku karya Martin yang popular berjudul NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Buku ini cukup tebal dan menjadi acuan kalangan kiai, terutama intelektual NU dan anak muda NU. Buku lain yang ditulis Martin berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
Hingga kini Martin masih tekun mengamati perkembangan NU. Lalu bagaimana tanggapan Martin dalam kasus tambang, terutama pemikiran Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU yang belakangan banyak mendapat sorotan karena terkesan sangat pragmatis?
“Sebagai pemerhati lama Nahdlatul Ulama Indonesia, saya merasa khawatir dengan hubungan organisasi yang semakin erat dengan pemerintah dan khususnya responnya yang bersemangat terhadap tawaran konsesi tambang presiden Jokowi, sesuatu yang sebagai organisasi sosial dan keagamaan NU jelas tidak memenuhi syarat,” tulis Martin van Bruinessen di akun Facebook-nya.
Martin khawatir organisasi sosial keagamaan terbesar ini terseret korupsi.
“Saya takut ini pasti akan melibatkan organisasi dalam korupsi skala besar, memicu penurunan nilai-nilai moral yang cepat, dan terlebih lagi membuat lelucon tentang gagasan "Islam hijau" atau "eko-teologi" yang diperjuangkan oleh beberapa intelektual muda organisasi,” tulis Martin lagi mengomentari pernyataan Ulil.
Martin mengaku menonton Ulil saat berdebat dengan aktivis Greenpeace di TV.
“Minggu lalu kami melihat tontonan menyedihkan salah satu pemikir muda organisasi, Ulil Abshar-Abdalla, mempermalukan dirinya sendiri dalam sebuah debat televisi dengan seorang aktivis Greenpeace tentang kerusakan lingkungan yang parah yang dilakukan oleh proyek pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua, di mana seorang pemimpin NU terlibat (sebagai seorang komisaris perusahaan pertambangan)," tulis Martin.
"Sebagai anggota dewan NU dan rekan ketuanya ternyata diminta untuk membela yang tak terbela. Tidak memiliki argumen yang baik, ia terpaksa ke arogansi. Debat mungkin akan dikenang sebagai titik balik dalam reputasinya sebagai seorang intelektual,” tambah Martin sedih.