SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Setelah Gibran Rakabuming Raka dipastikan menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto, otomatis pilihan ideal warga NU hanya dua pasang capres-cawapres. Yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Tinggal pilih salah satunya.
Kenapa? karena hanya Cak Imin (panggilan Muhaimin Iskandar) dan Mahfud MD yang secara faktual kader NU. Gibran jelas bukan kader NU, apalagi Prabowo Subianto. Bahkan Prabowo dan Gibran nyaris tak pernah bersentuhan dengan NU kecuali saat pilpres dan pilkada.
Secara historis warga NU sudah kenyang pengalaman pahit. Berulang kali warga NU mendukung capres atau cawapres non-NU. Ternyata setelah mereka terpilih, warga NU ibarat mendorong mobil mogok. Warga NU ditinggal begitu saja begitu mesin mobil itu hidup. Bahkan ada presiden yang selama menjabat tak pernah menginjakkan kaki di pesantren.
Karena itu memilih kader sendiri, kader NU, dipastikan lebih maslahah.
Apa itu kader? Menurut Berliana Kartakusumah (2006), kader adalah sekelompok orang yang terorganisasi secara terus-menerus dan menjadi tulang punggung bagi kesatuan kelompok yang lebih besar. Jadi seseorang disebut kader jika memiliki komitmen dan memenuhi standar yang ditetapkan organisasi (dalam hal ini NU).
Jadi kader tak cukup hanya memakai atribut NU seperti kopiah NU, jaket Banser atau Ansor dan Muslimat NU. Seorang kader harus punya komitmen ke-NU-an yang kuat dan pernah memikirkan untuk memajukan NU.
Dalam konteks ini kader NU tak harus tercatat sebagai pengurus NU atau Banom, tapi – yang lebih penting – kepedulian dan kiprahnya untuk memikirkan dan membantu NU.
Kita kutip dawuh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, pendiri utama NU, yang sangat populer: Barangsiapa yang mengurusi NU, akan aku anggap sebagai santriku. Barangsiapa yang kuanggap sebagai santriku, akan kudoakan semoga beserta anak-cucunya mati dalam keadaan husnul khotimah.