Durian Musangking, Durian Pontianak, Juara Bikin Kopi dan Gubernur Sutarmidji

Durian Musangking, Durian Pontianak, Juara Bikin Kopi dan Gubernur Sutarmidji Dahlan Iskan

PONTIANAK, BANGSAONLINE.com Ada fakta baru. Ternyata duian musangking kalah enak dengan durian Pontianak. Atau lebih tepatnya, kalah variasi enak. Atau lebih tepatnya lagi, enaknya durian Pontianak progresif. Terus bertambah.

Ah, yang benar? Lalu apa hubungannya dengan dan Gubernur Sutamadji?

Silakan baca tulisan wartawan kawakan, Dahlan Iskan, di bawah ini:

BEGITU makan durian kali ini saya tertegun. Setelah membuka durian keempat, saya tersadar. Saya merasa bersalah. Selama ini saya terlalu memuja musangking.

Maka sejak pekan lalu itu, sejak makan durian Pontianak lagi, kesan saya pada berubah.

Musangking memang enak sekali –di samping mahal sekali. Tapi durian Pontianak ini harusnya mengalahkan musangking. Seenak-enak musangking ya sudah, memang enak. Tapi ketika membuka musangking kedua, enaknya sama. Buka lagi yang ketiga enaknya masih sama. Pun yang keempat dan seterusnya.

Saya akhirnya tahu: di situ kelemahan musangking. Enaknya monoton.

Bandingkan dengan durian Pontianak ini. Khususnya yang sudah diseleksi oleh pedagang ahli durian ini. Di Jalan Gajah Mada ini. Buka durian pertama enak sekali. Buka yang kedua sangat enak. Buka yang ketiga enak banget. Yang keempat hen enak. Yang kelima enak jiddan.

Enak semua. Tapi enaknya beda. Tiap buka yang baru rasanya beda. Ini tidak akan terjadi pada musangking. Enak, tapi itu-itu saja.

Berarti saya harus meralat ide lama: baiknya rasa durian di Indonesia distandarkan. Seperti di Malaysia. Jangan. Jangan diseragamkan. Musangking memang enak tapi enak yang tanpa variasi.

Berarti, yang diperlukan di Indonesia adalah seleksi. Bukan penyeragaman. Biarlah tetap bervariasi. Asal enak semua.

Yang membuat pembeli durian di Indonesia kecewa adalah: tidak ada kepastian rasa. Membeli durian seperti berjudi. Bisa menang, bisa kalah melulu. Kadang, pembeli dapat durian hambar. Lain kali dapat yang jalak. Yakni yang sampai biji cokelatnya kelihatan: saking tipisnya dagingnya.

Pontianak di akhir 2022 telah mengubah pikiran saya.

Tentu saya juga mampir ke warung kopi Asiang. Masih juga ramai. Padat. Masih banyak yang berebut berfoto bersama si Asiang yang selalu tidak pakai baju itu.

Saya pun disodori foto lama saya ngopi di situ. Agar ditandatangani. Akan dipajang. Saya pun bertanya pada Asiang: "Apakah sudah tahu ada anak muda Pontianak menjadi juara dunia?" tanya saya.

"Juara apa?" tanya Asiang.

"Juara bikin kopi. Juara lima. Bulan lalu. Di kejuaraan dunia di Melbourne," jawab saya.

"Hebat ya Pontianak," komentarnya.

Dari kopi Asiang saya ke es krim. Di depan SMA Santo Paulus itu. Saya ajak senior saya ke situ. Saya dorong kursi rodanya. Ia adalah Pak Tabrani Hadi. Ia pendiri Pontianak Post. Umurnya sudah 81 tahun. Beliau harus di kursi roda karena stroke 8 tahun lalu.

Saya jemput ia ke rumahnya. Bicaranya sudah mulai lancar. Di kedai es krim yang berdiri sejak 1950 itu kami bertukar rindu. Juga mengenang masa lalu. Yakni masa ketika Pak Tabrani menemui saya: menyerahkan Pontianak Post (masih bernama Akcaya) kepada saya.

Itulah kedatangan saya pertama ke Pontianak. Tahunnya saya sudah lupa. Setelah dua hari di sana saya mengambil kesimpulan: Harian Akcaya ini tidak perlu saya. Akcaya sudah punya kantor. Sudah punya mesin cetak. Tidak punya utang. Bisa beli bahan-bahan baku sendiri. Masih bisa terbit rutin seminggu sekali.

"Bapak tidak perlu investor. Jalan sendiri saja," ujar saya.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO