Banyak Gereja Dijual, Boy Thohir Beli untuk Masjid, Bukan Rivalitas Agama

Banyak Gereja Dijual, Boy Thohir Beli untuk Masjid, Bukan Rivalitas Agama Dahlan Iskan

Perubahan interior gereja itu cukup besar. Plafonnya dibuat seolah ada dome di atas sana. Padahal, itu hanya desain di interiornya. Perancang interior itu adalah Tariq Abelhadi Architect.

Avat lahir di Surabaya, 62 tahun lalu. Ia besar di Jakarta. Pendidikannya di SMP Katolik Kanisius, Jakarta. SMA-nya di Pangudi Luhur. Lalu, kuliah di akademi sekretariat dan manajerial di fakultas komputer.

Ayahnya laksamana TNI-AL bintang tiga. Campuran Makassar-Jawa. Sudah almarhum. "Pernah menjabat Pangkowilhan," ujar Avat.

Tahun 1982, Avat ke Los Angeles. Ia melanjutkan kuliah sampai mendapat associate of arts degree (AA) dari Pasadena City College. Bachelor of science degree (BS) dari California State University, Los Angeles. Dan master of business administration degree (MBA) dari West Coast University.

Di AS, ia bekerja, antara lain, di UCLA Health System. Di bagian keuangan.

Begitu lama Avat menetap di Amerika. Ia pun kini sudah sepenuhnya menjadi warga negara Amerika. Demikian juga istrinya yang dari Jakarta. Dan dua anaknya.

Sebelum menjadi ketua Masjid At Thohir, Avat sudah lama aktif di berbagai kegiatan masyarakat. Karena itu, ia berhubungan baik dengan tokoh Tionghoa asal Indonesia di Los Angeles. Ia bersahabat dengan drg Irawan, putra pejuang kemerdekaan, yang menerbitkan media cetak Indonesia Media. Juga, berteman dengan youtuber asal Biak di sana: Butce. Keduanya juga sudah menjadi warga negara Amerika. Sekarang Avat menjadi ketua Indonesia Muslim Foundation (Imfo). Organisasi itu sudah terdaftar di US Federal dan California State. Avat juga menjabat ketua Indonesian Diaspora Network of Southern California (IDN SoCal).

Tidak sulit mencari gereja yang dijual di Amerika. Umumnya gereja lama. Di California saja pernah diiklankan 82 gereja yang dijual. Lihatlah harga di iklan itu.

Apalagi di wilayah yang banyak ditinggalkan imigran generasi pertama. Misalnya, di Buffalo, di utara New York. Dekat air terjun Niagara. Di situ ada dua yang sudah berubah menjadi masjid. Lalu, satu lagi menjadi wihara Buddha.

Imigran yang datang ke wilayah itu umumnya dari Norwegia dan sekitarnya. Itu tahun 1800-an. Mereka membangun perkampungan sekaligus rumah ibadah.

Sejak 1970-an kian banyak yang meninggalkan Buffalo. Keturunan imigran itu pindah ke daerah yang ekonominya lebih berkembang.

Harga properti di situ pun turun. Imigran dari Asia datang. Dengan berbagai agama mereka.

(Berbagai arsitektur gereja modern di AS)

Mengalir pula ke daerah itu penduduk kulit hitam dari wilayah selatan. Yang punya gereja sendiri –atau pilih tidak ke gereja yang sudah ada.

Di Amerika kelembagaan pemilik aset gereja juga sangat privat. Amerika sangat melindungi wilayah privat. Termasuk pun kalau pemilik gereja itu mau menjualnya.

Tentu banyak juga yang karena orang modern di Amerika tidak rajin lagi ke gereja.

Kekhawatiran menjadi seperti itulah sebagian sinode di Indonesia mulai mengurus kepemilikan aset gereja menjadi aset sinode. Agar tidak lagi menjadi aset pribadi.

Di lingkungan NU, aset lembaga pendidikan juga banyak dimiliki pribadi kiai NU. Bukan dimiliki NU. Tapi, sulit membayangkan ada kiai NU yang menjual aset untuk mal atau gereja.

Sedangkan di lingkungan Muhammadiyah, semua aset lembaga pendidikan dan rumah sakit resmi milik organisasi Muhammadiyah.

Meski banyak gereja yang dijual di Amerika, banyak juga gereja baru. Yang arsitekturnya juga baru. Tidak sama lagi dengan gereja zaman dulu. Lihatlah foto arsitektur gereja modern itu. Lalu, bandingkan dengan masjid baru di Los Angeles yang asalnya gereja.

Zaman berubah. Pun di arsitektur tempat ibadah: masjid maupun gereja. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO