Tafsir Al-Kahfi 28: Suka Bicara Harta, Tanda Hati Buta

Tafsir Al-Kahfi 28: Suka Bicara Harta, Tanda Hati Buta Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

28. Waishbir nafsaka ma’a alladziina yad’uuna rabbahum bialghadaati waal’asyiyyi yuriiduuna wajhahu walaa ta’du ‘aynaaka ‘anhum turiidu ziinata alhayaati alddunyaa walaa tuthi’ man aghfalnaa qalbahu ‘an dzikrinaa waittaba’a hawaahu wakaana amruhu furuthaan

Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.

TAFSIR AKTUAL

Setelah berkisah tentang ashab al-kahfi dan perintah meneladani mereka, kini Tuhan menasihati orang beriman agar bergaul dengan sesama iman. Jangan suka berasyik-asyikan membicarakan uang, karena itu merusak kejernihan hati. Jangan pula suka bergaul dengan orang-orang yang lalai kepada Tuhan, nanti mudah terjerumus ke hawa nafsu dan berakibat bejat. Itulah pesan global ayat kaji ini.

Salah satu keengganan mereka memeluk islam, adalah karena pengikut Nabi Muhammad SAW umumnya orang-orang kelas bawah, faqir, miskin, dan para budak. Islam memandang manusia itu sama. Yang mebedakan adalah ketaqwaannya di hadapan Allah SWT. Berlawanan dengan tolok ukur para kafir jahiliah, derajat manusia diukur dari status sosial, pangkat, nasab, dan kekayaan.

Tersebutlah Uyainah ibn Hishn dan al-Aqra' ibn Habis, dua orang kafir Makkah yang baru saja memeluk agama islam (mu'allaf) datang di majelis nabi dengan gerakan canggung dan setengah hati. Di majelis itu lebih duluan ada beberapa sahabat seperti Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghifari, dan beberapa orang miskin.

Lalu mereka mendekat dan membisiki Nabi: "Ya Rasulallah, sekiranya engkau berkenan melapangkan tempat duduk kami berdekatan dengan engkau. Engkau singkirkan sejenak orang-orang berpakaian kumuh itu dari kami, kami akan lebih sreg menerima wejanganmu".

Rasulullah SAW berpikir sejenak, mana yang harus diperhatikan, para sahabat miskin yang sudah duluan duduk bersama atau pembesar Makkah yang baru saja masuk islam? Belum sempat memutuskan, ayat kaji ini turun memberi jawaban. "Jangan turuti kemauan mereka".

"Wong Kang Shalih Kumpulono", begitu potongan kalimat dalam syair tombo ati, gubahan al-sayyid Maqdum Ibrahim yang berjuluk Sunan Bonang. Dalam bergaul dengan orang-orang shalih, di mana orientasi mereka adalah hanyalah "Allah" semata, sungguh dibutuhkan keuletan, istiqamah, kesabaran mendalam. Itulah pesan pembukan ayat kaji ini, "wa ishbir".

Sebab bergaul dengan para orang shalih sama saja dengan berguru, meniru perilaku mereka terus menerus. Tentu berat dan hanya pribadi yang sudah siap saja yang mampu. Kebanyakan orang, pejabat, atau orang kaya itu mendekat orang shalih, kiai khas, hanya saat butuh saja sesuai kepentingan. Bukan nyantri, bukan berguru, dan bukan pula meniru keshalihannya.

Ma', (ma' al-ladzin yad'un rabbahum). Ma'iyah, kebersamaan. "ma'" itu punya fungsi tutorial, pengajaran, pemanduan. Dengan kebersamaan, hal yang belum diketahui menjadi diketahui karena melihat langsung apa yang dilakukan oleh orang yang menjadi imam tersebut.

Seperti orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji, cukup nempel saja pada pemandu, mutawwif. Ikuti saja semua apa yang dikerjakan, maka beres dan ibadah shah. Itu lebih efektif ketimbang berbulan-bulan bimbingan manasik di tanah air.

"Ma'", juga sebagai kontrol. Orang yang bepergian jauh lepas dari kontrol sosial. Umatnya tidak melihat. Cobalah bepergian bersama orang shalih, kiai misalnya. Maka gerak anda akan lebih terbatasi. Andai mau berbuat maksiat, sungkan dengan kiai yang mendampingi. Tidak sama ketika anda bepergian bersama penghobi maksiat, maka lancar-lancar saja.

"wa la ta'd 'ainak 'anhum turid zinah al-hayah al-dunya". Dlamir "hum", sesuai sabab nuzul adalah para penggede kafir Makkah yang sok elitis dan gengsian, seperti Uyainah dan al-Aqra', termasuk Umayyah ibn Khalaf. Tuhan melarang mata ini, kecenderungan hati ini kepada mereka. Lalu Tuhan mengungkap motif kedekatan itu yakni: "turid zinah al-hayah al-dunya", ingin mendapatkan keuntungan duniawi.

Tuhan membongkar sifat umum manusia ketika mendekati orang-orang gede, meski ada pengecualian. Jadi bisa dibaca ketika ada orang shalih yang tiba-tiba mendekat-dekat pejabat, konglomerat. Menurut ayat ini, dia ingin keuntungan duniawi. Dekat boleh untuk mendakwahi dan menasihati. Tapi yang begini ini jarang.

Ustadz di kalangan artis dalihnya pasti mendakwahi dan membimbing mereka dari dekat, mengarahkan secara perlahan dan butuh waktu. Itu sungguh amal terpuji dan mudah-mudahan begitu.

Sekarang lihat lahiriahnya saja dengan memperhatikan tampilan mereka, gaya hidup mereka sehari-hari, maupun di televisi. Mana yang dominan: artisnya yang mengustadz, berhenti bergoyang, disiplin menutup aurat, aktif mengkhatamkan al-qur'an, atau ustadznya yang mengartis?

Apa sih yang dipertontonkan kaum selebriti? yang biasa ya pamer harta, pamer kesenangan, plesiran, ke luar negeri, pamer barang-barang mewah, barang langka, hobi-hobi mahal yang sama sekali tidak ada manfaatnya bagi agama. Gaya hidup begini ini yang dibenci Tuhan, seperti tertutur pada ayat ini. Perhatikan pesan berikutnya.

"wa la tuthi' man aghfalna qalbah 'an dzikrina..". Jangan kamu ikuti gaya hidup orang yang lalai kepada Tuhan. Mereka sangat sedikit berdzikir dan minim istighfar. "wa ittaba' hawah", sehari-harinya memburu kesenangan dan menuruti nafsu. Nuruti hobi dan gaya-gayaan, gengsi-gengsian.

Bangga sekali memamerkan mobil mewahnya, motor gedenya, sampai anak-anaknya yang masih belum mengerti apa-apa digiring ke kehidupan glamor. Dipamerkan kolam renangnya, pakaiannya, mainnya, pokoknya ingin tampil serba wah. Lalu bangga dan merasa kelas atas. Gaya hidup macam begini ini yang dikecam al-qur'an sebagai orang yang terpuruk dalam nafsu duniawi, lalai berdzikir.

Mereka tidak sadar, bahwa tayangan begitu itu sangat menyakitkan perasaan orang miskin, menambah pedih hati anak-anak tidak mampu yang hidupnya serba kekurangan. Kadang ada sedekah sedikit, sangat sedikit, dibanding kekayaannya, tapi didramatisir dan dikemas sedemikian rupa hingga layak jual. Pandai mengais keuntungan dari kemiskinan orang lain. Sesekali bayangkan, andai dia sendiri yang miskin, lalu menyaksikan tayangan macam itu.

Jika kafir Makkah tidak sudi berkumpul dengan orang-orang beriman yang miskin, yang faqir, yang budak, yang kelas bawah, lalu Tuhan menegur sikap itu sebagai tercela. Kini kita lihat diri kita sendiri. Mana lebih lega, berkumpul dengan kaum elitis yang glamor, atau ahli ibadah yang miskin? Ke mana kecenderungan kita, itulah kualitas keimanan kita.

"wa kan amruh furutha". Apa yang mereka lakukan itu berakhir "furuth", maknanya:

Pertama, keterlalauan. Identik dengan kata "tafrith, ifrath", melampaui batas kewajaran, jadinya tidak wajar. Kapasitas 10 kilo, diisi 15 kilo, jadinya jebol dan berantakan.

Kedua, lemah. Kualitas keimanannya lemah, sehingga apa yang dikerjakan tidak diproyeksikan kepada Tuhan sebagai amal ibadah, melainkan lebih kepada kepuasan nafsu. Lemah di sini juga bermaknakan kualitas amal-amalnya rendah sekali, sehingga tidak dinilai Tuhan sebagai amal baik.

Ketiga, lewat. Amalnya lewat dan berlalu begitu saja, hilang tanpa ada manfaat, tanpa ada imbalan pahala di sisi Allah SWT. Beberapa ayat mendukung penafsiran ini, antara lain "La'in asyrakta layahbathann amaluk" (al-Zumar:65). Semua makna itu berdekatan. Jika digabung dan disederhanakan, maka jadinya: amalnya hangus tak berpahala. Na'udz billah min dzalik.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO