Pandemi Covid-19 Diprediksi Hingga 2021: BPR Boleh Tak Acuhkan Peraturan OJK ini, Asalkan...

Pandemi Covid-19 Diprediksi Hingga 2021: BPR Boleh Tak Acuhkan Peraturan OJK ini, Asalkan... Dani Santoso

Oleh Dani Santoso* 

Corona Virus Disease (COVID-19) telah menjadi perhatian khusus oleh seluruh negara di dunia. Bagaimana tidak, virus ini telah memberikan dampak buruk baik bagi kesehatan yang berujung kematian. Termasuk, menimbulkan permasalahan di berbagai sektor, utamanya ekonomi dan sektor keuangan suatu negara. Tak terkecuali Indonesia.

International Moneter Fund atau IMF memprediksi bahwa ekonomi global tahun 2020 akan mengalami minus sebesar 3 persen akibat dari pandemi COVID-19 ini. Apabaila tidak segera diatasi dengan cepat dan tepat, maka diprediksi akan terjadi penurunan yang signifikan terhadap kegiatan ekonomi suatu negara, dan nantinya akan terjadi resesi apabila terjadi penurunan dalam jangka waktu tiga bulan atau lebih.

Di Indonesia sendiri, pemerintah dan lembaga lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (selaku lembaga independen yang merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan kuat dengan otoritas lainnya, seperti otoritas moneter dan otoritas fiskal) telah menerbitkan sejumlah aturan untuk meminimalisasi dampak terburuk di sektor perbankan. Salah satunya melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 34 /PJOK.03/2020 tentang kebijakan bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagai dampak penyebaran COVID-19.

Pasalnya, pandemi COVID-19 ini membawa dampak cukup signifikan kepada perbankan. Banyak debitur yang kemudian kelimpungan membayar angsuran karena lumpuhnya ekonomi. Sehingga, mereka meningkatkan penarikan dana simpanan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Peningkatan potensi risiko kredit dan risiko likuiditas ini dapat mempengaruhi pertumbuhan industri BPR itu sendiri. Oleh karena itu, perlu kebijakan dari otoritas terkait (dalam hal ini OJK) untuk mendorong optimalisasi kinerja industri BPR ini dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian.

Di dalam peraturan OJK ini dijelaskan setidaknya ada 4 penerapan kebijakan yang dapat dilakuan oleh BPR. Pertama, tentang pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP). BPR atau BPRS dapat membentuk penyisihan penghapusan aset produktif umum untuk aset produktif dengan kualitas lancar kurang dari 0,5% (nol koma lima persen) dari aset produktif dengan kualitas lancar atau tidak membentuk penyisihan penghapusan aset produktif umum untuk aset produktif dengan kualitas lancar.

Aset produktif yang dimaksud di sini berupa kredit atau pembiayaan dan penempatan pada bank lain, dengan kualitas lancar. Dalam hal BPR tidak membentuk PPAP selama masa berlaku kebijakan ini, yaitu 1 April 2021, maka BPR tidak perlu membentuk akumulasi cadangan. Tetapi, disarankan agar tetap “menghitung” cadangan penyisihan kerugian sebagai bentuk mengantisipasi kebutuhan pembentukan PPAP.

Kedua, tentang perhitungan nilai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) sebagai faktor pengurang modal inti dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum. BPR atau BPRS menghitung persentase nilai agunan yang diambil alih sebagai faktor pengurang modal inti dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum BPR dan BPRS.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO