Tafsir Al-Isra 107: Cadar "Bukan" Pakaian Tradisi Wanita Arab

Tafsir Al-Isra 107: Cadar "Bukan" Pakaian Tradisi Wanita Arab foto: Geotimes.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

107. Qul aaminuu bihi aw laa tu/minuu inna alladziina uutuu al’ilma min qablihi idzaa yutlaa ‘alayhim yakhirruuna lil-adzqaani sujjadaan.

Katakanlah (Muhammad), “Berimanlah kamu kepadanya (Al-Qur'an) atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang yang telah diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (Al-Qur'an) dibacakan kepada mereka, mereka menyungkurkan wajah, bersujud,”

TAFSIR AKTUAL

Setelah membicarakan berbagai hal menyangkut al-qur'an, kini Tuhan membiarkan respons mereka. Silakan bagi yang mau beriman dan silakan bagi yang tidak mau beriman. "aminu bih aw la tu'minu". Meski demikian, dipaparkan sifat ilmuwan, bahwa dengan kejernihan ilmunya, mereka mesti patuh terhadap ajaran agama dan aktif bersujud di hadapan Tuhan.

Mereka menggunakan ilmunya yang mapan, daya nalarnya yang jernih yang telah disinari oleh Allah SWT dengan cahaya hidayah. Sejatinya ilmu itu sendiri adalah cahaya, sehingga dengan cahaya tersebut mereka tidak sekadar menerima ajaran agama, melainkan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari secara tulus, dan selalu bersujud di hadapan Allah SWT secara murni.

Terkait aurat, apakah menutup aurat, bercadar, berhijab, itu syariah agama yang mesti dipatuhi atau pola pakaian yang ribet dan merenggut kebebasan nafsu? Dari bahasannya saja, orang berilmu sudah bisa membayangkan arahnya.

'Aurat ('aurah), 'ara - ya'iru, artinya cacat, keburukan yang tidak boleh dilihat orang lain. Orang arab membahasakan rumah tak terjaga atau lemah penjagaannya, rawan sekali dijahati maling disebut "aurah". "... inn buyutana 'aurah wa ma hia bi'aurah".(al-ahzab: 13).

Maka menutup aurat adalah cara orang beriman, cara orang berakal melindungi diri dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak kehormatan diri. Selanjutnya, menutup aurat adalah murni kerja ibadah demi memperoleh ridha-Nya. Dalam hal ini, orang beriman tidak punya catatan apa-apa, selain patuh dan tunduk kepada agama. Itulah, maka ulama teologi menterjemah "al-iman" dengan "al-khudlu' wa al-inqiyad", tunduk dan mematuhi.

Perkara apakah cadar, niqab, burqah, jilbab itu ajaran agama atau budaya pakaian wanita arab, maka terserah dari mana memandang. Mereka yang memandang pakaian adalah murni budaya, maka bercadar, berhijab, adalah pakaian tradisi wanita arab atau identik dengan pakaian wanita jazirah arab.

Artinya, pakaian itu bukan ajaran Islam dan tidak harus dipatuhi. Masing-masing cukup berpakaian menurut tradisi daerahnya. Sopan, wajar, dan sudah terbiasa di daerah tersebut berpakaian demikian. Di sini, aurat adalah bagian tubuh yang biasa ditutupi di daerah itu saja. Jika tradisinya tidak pakai tutup kepala, maka tidak pakai kerudung atau jilbab tidak melanggar agama. Agama mengikuti adat. Jika suku Asmat Papua, lelakinya pakai koteka, dan perempuannya rumbai...?

Sedangkan kelompok yang menganggap berjilbab dan pakai cadar adalah pakaian agama, maka wanita muslimah wajib berhijab, bartutup kepala. Dasar pemikiran ini adalah, bahwa sebelum Islam, wanita arab itu pakaiannya sesuka hati. Ada yang menutup kepala, ada yang memperlihatkan keindahan rambutnya, ada yang memperlihatkan leher dan dada bagian atas, ada yang memperlihatkan betisnya yang berbinggel, dan lain-lain.

Lalu islam datang dan Rasulullah SAW - dengan bimbingan wahyu - menunjuk pakaian wanita muslimah, yaitu menutup seluruh anggota badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan yang dikecualikan ini bukan berarti harus dibuka, melainkan boleh dibuka, apalagi karena ada hajat tertentu, seperti mengenali identitas saat wanita dilamar.

Untuk itu, jilbab, cadar, burqah, niqab, adalah pakaian "desain" Rasulullah SAW sekaligus syari'ah agama. Rasullullah SAW-lah yang memerintahkan wanita mukminah berpakaian macam itu, di mana sebelumnya wanita arab berpakaian bebas-bebas saja. Ya, sebagian para syarifah, wanita terhormat memang ada yang disiplin, tapi itu tidak mentradisi.

Setelah ayat-ayat tentang hijab, tutup aurat turun, maka para wanita mukminah di seantero kota Madinah semuanya bertutup aurat, dan warna hitam menjadi pilihan publik. Hal itu karena warna hitam adalah warna gelap yang paling mampu mengelabui apa yang ditutupi.

Bertutup badan ini disponsori oleh semua ummahat al-mukminin, para istri nabi, baik yang muda, apalagi yang tua. Saking maraknya wanita mukminah berpakaian hitam dan bercadar, hingga timbul ideom "gagak-gagak hitam keluar dari sarangnya". Yang dimaksud adalah para wanita mukminah keluar rumah menuju tempat tertentu. Inilah pakaian wanita mukminah yang waktu itu sungguh beda dengan pakain wanita non muslimah.

Bila kita membaca sirah nabawiyah terkait keluarga Nabi yang rapi metutup aurat, di sana ditemukan betapa Fatimah bint Rasulillah SAW adalah cewek yang paling disiplin menutup seluruh anggota badannya. Fatimah Rasulillah putri, selain dikenal sebagai bunga kota Madinah, dia juga dikenal sebagai wanita pandai ber-fashion, serta sangat bagus menutup semua badannya, hingga tidak mudah dibedakan, mana badan bagian depan dan mana pula yang belakang.

Data pendukung bahwa cadar adalah pakain desain Rasulullah SAW dan bukan murni pakaian tradisi pakaian wanita jazirah arab, antara lain:

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO