Tafsir Al-Isra' 79: Shalat Tahajjud, Kunci Kemuliaan

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

79. Wamina allayli fatahajjad bihi naafilatan laka ‘asaa an yab’atsaka rabbuka maqaaman mahmuudaan

Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.


TAFSIR AKTUAL

Setelah Tuhan membicarakan keutamaan shalat shubuh yang berhukum fardlu, kini Tuhan mengangkat keutamaan shalat tahajjud yang berhukum sunnah. Shalat shubuh memang tidak bisa dikategorikan sebagai shalat malam, tapi juga tidak bisa dimasukkan kelompok shalat siang. Shalat shubuh adalah shalat in between, ada di antara siang dan malam.

Shalat yang posisinya ada di titik pertemuan ini disaksikan oleh segenap malaikat malam yang hendak undur diri dan menyerahkan rekap amal manusia kepada malaikat siang yang hendak mengganti bertugas. Makanya, ulama sangat perhatian terhadap shalat ini.

Al-Imam al-Syafi'iy menekankan agar shalat ini dikerjakan saat masih taghlis, pagi buta, awal waktu. Sedangkan Abu Hanifah karena merpertimbangkan titik temu kedua grup malaikat tadi, cenderung pada waktu isfar, akhir waktu, menjelang matahari terbit. Hal itu karena titik temu waktu siang dan malam ada pada terbitnya matahari. Namun pendapat Abu Hanifah ini banyak ditentang ulama karena menyalahi muwadhabah, keistiqamahan Nabi Muhammad SAW yang selalu shalat shubuh pada awal waktu atau saat taghlis.

Ayat studi ini membicarakan keistimewaan shalat tahajjud, shalat sunnah yang dikerjakan tengah malam setelah sebelumnya tidur lebih dahulu. Jika setelah shalat isya' tidak tidur dan begadangan, ngobrol, internetan, nonton bola, atau wiridan, lalu shalat sunnah, maka bukan disebut shalat tahajjud, melainkan menjadi shalat sunnah biasa. Tentu pahalanya berbeda.

Jika di tengah-tengah wiridan kok ngantuk dan tertidur sebentar, 20 menit saja - misalnya - lalu mengambil air wudhu dan shalat sunnah, maka masuk ketegori shalat tahajjud, walau hanya satu rakaat shalat witir. Shalat tahajjud berpahala lebih karena berat. Enak-enaknya tidur lelap, lalu bangun dan shalat.

Al-hujud, tahajjud memang artinya bangun. Tapi, sekadar ngelilir, terbangun dari tidur malam karena pasang alarm dan mau nonton bola siarang langsung, tapi tidak shalat, maka bukan tahajjud seperti yang dikehendaki oleh ayat ini. Atau terbangun karena kebelet buang air ke kamar kecil, juga sudah berwudhu, tapi tidak shalat, maka bukan tahajjud.

Versi ibu As'isyah R.A., pada awal islam, di mana shalat fardlu belum diwajibkan, maka shalat malam dua rakaat ini menjadi amalan wajib. Kemudian, setelah shalat fardlu lima waktu diundangkan, maka shalat ini direvisi menjadi shalat sunnah yang sangat dianjurkan. Akan tetapi hukum kesunnahan itu hanya untuk umum, untuk para umat Muhammad SAW saja, sementara bagi pribadi nabi, shalat tahajjud ini tetap menjadi kewajiban.

Diriwayatkan, bahwa beliau pernah bersabda: "ada tiga kewajiban yag melekat bagi diriku pribadi, tapi tidak pada diri kalian. Bagi kalian hanya sunnah belaka, yaitu: qiyamul lail (tahajjud), shalat witir (shalat sunnah rakaat ganjil setelah shalat isya'), dan siwak (gosok gigi menjelang ibadah)".

Soal keutamaan shalat tahajjud ini dijelaskan sendiri oleh Tuhan, bahwa pelaku tahajud akan mendapatkan maqam mahmud, "‘asaa an yab’atsaka rabbuka maqaaman mahmuudaan". Maqam mahmud atau derajat terpuji di hadapan Allah SWT itu apa?

Pertama, adalah al-syafaat al-udhma, hak memberi pertolongan, bantuan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah SWT khusus Rasulullah SAW. Di akhirat nanti, semua manusia butuh syafaat, butuh ditolong, butuh diampuni, butuh lepas dari siksa neraka, butuh singgah di surga. Tapi semua rasul terdahulu tidak ada yang bisa memberi syafaat, kecuali nabi kita, Muhammad SAW.

Maka syafaat tersebut merupakan mutlak otorita Rasulullah SAW dan terserah beliau, mau diberikan kepada siapa. Tentu saja lebih diutamakan untuk umatnya sendiri yang dipandang terdekat atau dekat atau yang layak diberi. Begitu makna maqam mahmud versi Abu Hurairah R.A. Al-Imam al-Turmudzy sebagai perawi memberi label hadis ini sebagai Hasan Shahih.

Di sini, semua beriman punya peluang mendapat syafaat tersebut. Cuma kansnya berbeda, porsi keterkabulannya dan besarannya berbeda. Tentu saja, mereka yang sangat dekat dengan Nabi, ibadah dan amal sosialnya bagus, punya keistiqamahan membaca shalawat cukup banyak, tentu lebih berpeluang mendapat banyak.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO