Tafsir Al-Isra' 44: Jilbab, Antara Miftahul Jannah dan Najwa Shihab

Tafsir Al-Isra Miftahul Jannah, Atlet Judo Indonesia yang rela didiskualifikasi dari Asian Para Games gara-gara menolak melepas jilbab.

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

44. tusabbihu lahus-samaawaatussab'u wal-arḍu wa man fiihinna, wa in min syai'in illaa yusabbihu bihamdihii wa laakin laa tafqahuuna tasbiihahum, innahuu kaana haliiman gafuuraa

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.


TAFSIR AKTUAL:

Ayat studi yang sedang kita kaji ini (44) adalah tentang semua ciptaan selalu bertasbih kepada Allah SWT. Dijelaskan dari benda paling raksasa, langit, dan bumi hingga yang tak terlihat. Lalu ditohok, bahwa manusia tidak paham tasbih mereka. Sebagian mufassirin memandang, bahwa makna tidak paham tesebut ditujukan kepada mereka yang tidak bisa mengambil hidayah, sehingga tetap kafir. Mereka benar-benar kalah soal "kepatuhan" terhadap Tuhan.

Beberapa hari lalu, dunia tiba-tiba dikejutkan dengan sikap sorang judoka Indonesia, Miftahul Jannah yang rela didiskualifikasi, tidak boleh tampil di gelanggang Asian Para Games 2018 yang diselenggarakan di negeri sendiri karena tidak bersedia melepas jilbab saat pertandingan. Dia lebih memegangi prinsip syariah yang dia yakini, bahwa menutup kepala (berjilbab) bagi wanita muslimah adalah perintah agama yang wajib dipatuhi.

Sikap Komite pertandingan mengusir Miftahul Jannah dari arena itu tidak salah, karena aturannya begitu. Tapi Miftahul Jannah juga benar, karena melepas jilbab di tempat terbuka, di depan para laki-laki bukan mahram adalah dilarang agama. Baginya, prestasi itu penting, tapi prestasi taqwa lebih penting. Apa artinya medali berhasil diraih, tapi Tuhan membenci. Dia lebih memilih pujian di Akhirat ketimbang pujian di dunia. Itulah hidayah namanya.

Miftahul Jannah hanyalah seorang atlet yang notabenenya "tidak membaca ayat suci", tidak mengerti tafsir dan tidak memahami al-Hadis, juga tidak dari keluarga mufassir, tidak juga dari keluarga berilmu tinggi bidang agama. Tapi dia terdidik agama dan berkomitmen terhadap syari'ah agama. Itulah keberhasilan orang tua menanamkam agama pada anaknya.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO