Tafsir Al-Isra' 32: Zina Itu Ibarat Api, Bukan Kereta Api

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Perzinaan yang dilakukan dengan istri teman atau istri tetangga berpotensi pertengkaran dan sangat mungkin terjadi pembunuhan. Rebutan cewek dalam dunia pelacuran sering berujung pembunuhan. Untuk itu, benar sekali Tuhan mengaitkan ayat zina dengan ayat pembunuhan, baik pembunuhan bayi maupun antar orang dewasa.

Dua efek dari perbuatan zina dikatakan pada ayat kaji ini, yakni: “fahisyah” dan “sa’a sabila”. Fahisyah adalah perbuatan keji yang tidak patut dilakukan oleh orang beriman. Sedangkan sa’a sabila adalah pelaku zina tertimpa jalan hidup yang buruk. Bila lahir anak, maka anak itu tidak bernasab secara sah yang tentu mengakibatkan ketidak jelasan status. Seperti tidak punya hak waris kepada ayah, tidak punya wali nikah dari nasab, jika anak itu perempuan.

Apalagi jika dikaitkan dengan zaman sekarang yang serba administratif. Anak itu tidak punya akte kelahiran yang sah. Tentu menyulitkan, seperti mau sekolah, pemberkasan, menikah dan lain-lain. Anak yang lahir dari perzinaan sungguh anak yang suci, tanpa dosa, sama dengan anak manusia yang lahir dari pernikahan yang sah atau dari budak wanita miliknya. Yang berdosa adalah orang tuanya, bukan anak. Tapi anak ikut tertimpa status buruk akibat perbuatan orang tuanya.

Begitu halnya dengan nama baik pelaku zina dalam tatanan masyarakat bermoral. Pelaku zina akan menjadi rendah dalam pandangan publik, meskipun Allah SWT selalu membuka pintu tobat seluas-luasnya. Tidak ada dosa yang tidak diampuni, asal serius bertobat.

Tidak sama dengan hukum tatanan manusia yang cederung mengeksekusi dan final. Orang terhormat bisa direndahkan gara-gara berzina. Di Amerika, seseorang bisa batal menjadi calon presiden karena diketahui punya skandal seksual. Itulah arah pesan firman-Nya “wa sa’a sabila”.

Untuk itu, benar sekali jika larangan berzina ini diantar dengan bahasa antisipatif, “jangan mendekati” atau “ wa la taqrabu”. Tidak dengan larangan langsung obyek, seperti: “jangan berzina”. Artinya, zina itu punya zona.

Pertama, zona utama, yakni zina. Memasukkan zakar ke dalam vagina wanita bukan mahram (istri atau budak wanita). Kemudian zona satu, zona yang terdekat dengan zina, seperti mengesek-esek, tindakan seksual tanpa memasukkan penis ke dalam vagina. Zona dua, seperti berciuman, meremas dan sebangsanya. Ketiga, berduaan, saling bertukar pandangan dan sebangsanya. Zona berikutnya bisa seperti chatting seksual lewat media sosial, video call, dan lain-lain.

Pesan ayat ini berbentuk larangan berjarak, “wa la taqrabu”, jangan mendekat. Tujuannya agar orang beriman jauh-jauh sudah terhindar dan selamat. Sebab zina itu adiktif dan nagihi, membuat orang keenakan dan ketagihan, ingin lagi dan ingin lagi. Untuk itu, disteril jauh-jauh. Kayak rokok, minuman keras, pil koplo dll. Lihat, betapa susahnya perokok menghentikan kebiasaan buruknya. Kehebatan rokok, hingga sekelas kiai, profesor dan guru besar, akal sehatnya kalah dengan nafsunya, meski kenafsuannya itu sering dibungkus dengan dalil dan argumentasi.

Yang logis adalah zina itu ibarat api. Jangan mendekat, panas, dan membahayakan. Jika anda masuk ke dalamnya, pastilah keadaan makin bertambah buruk, terbakar dan binasa. Bukan bahasa plesetan yang menyesatkan, bahwa zina itu kayak kereta api. Anda mendekat bisa keserempet dan tewas. Tapi jika anda naik langsung di dalamnya, maka akan uenak tenan. Na’udzu billah minaz zina.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO