Sumamburat: Mendengar "Tangis Anak Krakatau"

Sumamburat: Mendengar "Tangis Anak Krakatau" Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

ASAP itu membubung dan api itu memendarkan semburat pijar ke angkasa. Suasananya menjelang manghrib sampai hendak ke peraduan malam mengelokkan kerumun hitam yang memendar darinya. Sabtu malam 22 Desember sampai 23 Desember 2018 sangat magis dalam menatap gerak asap yang memendungkan diri wilayah Selat Sunda. Sekitaran pukul 22.00 WIB untuk selanjutnya merangkak menjemput malam dan sejumput waktu itu pula gelombang raksasa air laut Selat Sunda menggelombangkan diri. Pantai indah yang menjadi areal “hajatan banyak” insan sontak menerpakan jiwa dan meremukredamkan gelisah ruhani yang perih untuk hari-hari berikutnya sampai saat ini.

Raturan orang meninggal dalam kisaran angka 373 yang terus bertambah dengan 1.459 luka dan ratusan lagi masih hilang entah tertambat di mana. Pengungsian terjadi serentak dalam ukuran jamaah yang gemuruh mencapai 5.665 orang. Rumah-rumah luluh dan lantakannya berserak dari bibir pantai sampai jalanan. Hotel-hotel serta vila ambruk dengan capaian sejumlah 69 dengan tambahan perahu nelayan serta kapal-kapal yang kerap membawa para ABK berkisaran 420 buah tercabik air bah. 60 warung dan toko-toko pracangan rata terseret “sedakan lautan” untuk kemudian tertambat memenuhi jalanan.

Itulah yang terekam dalam sedih dengan keperihan yang amat menyukma dari suara lirih yang kemudian mendengkur selaksa detak musik yang membuat mereka berjingkrak. Kabar duka segera tersebar dan semua mengalirkan hujan tangis dan derasnya air mata mengalir mengabarkan sengsara. Handai taulan di sisi daerah Selat Sunda diterjang Tsunami yang tidak mengenal kasih sebagaimana mestinya di saat ini selalu dimohonkan sebagian orang yang merayakannya. Tahun baru menjemput saatnya menjelang 1 Januari 2019, tetapi malam 31 Desember 2018 perlu mengenang dengan sahutan yang selalu dirindukan dalam kesejatian persaudaraan yang diajarkan Guru Agung Bangsa, KH Abdurahman Wahid yang haulnya diperingati sejak tempo waktu.

Semuanya kemudian menuangkan diri untuk saling mengenang dan menguatkan kesetiakawanan nasional. Ungkapan belasungkawa dan duka cita datang dari seantero dunia. Masyarakat internasional menoleh ke bumi nusantara. Kabupaten Pandeglang, Lampung Selatan, dan Tanggamus yang berkelindan dalam deret kawasan Banten, Jabar dan Lampung menjadi saksi atas “tangis anak Krakatau”. Gunung Krakatau semakin tua dan “anaknya” kian beranjak dewasa untuk kemudian dilatih secara natural layaknya gunung berapi. Tanda bahwa keberapian sebuah gunung tentu harus bisa “melelehkan bara dan menyengatkan gertak mengepulkan asap yang seperti peribaratan seseorang yang tengah merokok, dipastikan asap harus dikepulkan, tidak untuk ditelannya. Konsekuensinya seperti diberitakan oleh institusi negara: 64 hektar tanah yang melekat di Gunung Anak Krakatau beratraksi memainkan diri bersama dekapan lautan. Saya mendengar mereka bermain bersama arus air dan menikmatinya sambil berisak atau justru tertawa terbahak-bahak mengikuti deru suara musik yang saat itu ditampilkan.

Selebihnya tentu ada yang lain dalam hening yang disimak oleh Gunung Anak Krakatau dan air laut Selat Sunda. Sayup-sayup anak-anak yang sedang mengaji dengan menebarkan suara kalam Tuhan menghunjam iman dari para hafidz dan hafidzah. Suara ayat-ayat Alquran itu ternyata memadukan cinta asap-api-lautan untuk menyatukan diri sambil bersimpuh di pantai yang disirami dengan suara bocah mengaji. Subhanallah. Keajaiban terjadi dengan keselamatan yang terpotret dari mereka yang tetap menebar senyum jiwa meski turut sedih merasakan sesama hamba ada yang menjemput kematian lebih dari yang dipikirkan.

Apa yang terekam dari tsunami di Selat Sundah adalah peristiwa perih. Publik pun tertegun menahan nafas panjang mencermati kumandang berita yang membanjiri ruang hidupnya. Semua itu menambah deret hitung terjadinya bencana sejak tahun 2002-2018 yang terus meningkat. Gempa, gunung meletus, banjir dan longsor mendominasi tragedi di lahan kritis berbagai daerah. Data dari BNPB dan KLHK memetakan bahwa Pulau Jawa terpotret dalam kondisi potensial kritis sampai dengan yang sangat kritis yang tersebar di: Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Pasuruan, Kediri, Tuban, Bojonegoro, Pacitan, Nganjuk, Ngawi, Wonogiri, Klaten, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Demak, Kebumen, Cilacap, dan Brebes, DI Yogyakarta, Ciamis, Garut, Bandung, Sumedang, Indramayu, Subang, Cianjur, Sukabumi, Bogor, DKI Jakarta dan Banten. Pemetaan ini memberi peringatan bahwa Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten sangat rentan bencana.

Dalam lingkup ini jangan sampai ada gerutu menyesali diri tinggal di negeri ini. Ungkapan yang acapkali terlontar bahwa negara ini rawan banjir, gempa, longsor, gunung meletus, bahkan ada patahan aktif yang siap mengguncang Surabaya dengan kekuatan 6,5 SR, dan tsunami, tidaklah berarti “bencana itu kutukan”. Tulisan Lawrence Blair dan Lorne Blair (2010) yang mengintrodusir Indonesia ada dalam lingkaran api (Ring of Fire) bukanlah pernyataan yang terus didramatisir. Justru kita bersyukur, berarti Indonesia adalah tanah subur yang dikreasi penuh keseimbangan oleh Tuhan. Hanya rumpun geografis demikianlah yang menjanjikan kemakmuran, karena “bencana alam” itu sejatinya “lembah ilmu” agar manusia terpanggil menjaga alam. Buku Mark Heyward Crazy Little Heaven (2018) menguatkan sungging senyum syukur itu, karena pesona kepingan surga, tetaplah di Indonesia. 

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Sumber: Suparto WIjoyo*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO