Tafsir Al-Isra 12: Hisab Hanyalah Ilmu, Bukan "Amal"

Tafsir Al-Isra 12: Hisab Hanyalah Ilmu, Bukan "Amal" Ilustrasi: Rukyatul Hilal

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .   

Waja’alnaa allayla waalnnahaara aayatayni famahawnaa aayata allayli waja’alnaa aayata alnnahaari mubshiratan litabtaghuu fadhlan min rabbikum walita’lamuu ‘adada alssiniina waalhisaaba wakulla syay-in fashshalnaahu tafshiilaan (12).

Di negeri ini kita kenyang-kenyang disuguhi perbedan pendapat soal penentuan awal bulan Syawal maupun Ramadhan. Jadinya, ada yang sudah mulai puasa atau lebaran duluan, ada yang besoknya. Tapi karena sama-sama dewasa and pangerten, maka adem ayem saja.

Tahun sembilan puluhan, tepatnya zaman pak Soeharto dulu sedulur Nahdliyyin sering lebih dahulu memulai puasa maupun lebaran. Besoknya, baru sedulur Muhammadiyah bersama pemerintah melakukan shalat idil fitri. Hal itu, karena kelender Muhammadiyah menggunakan dasar rukyah hilal derajat tinggi, di atas dua derajat. Di bawah itu mereka psimis, lalu pakai istikmal, digenapkan 30 hari. Malah pernah tiga tahun berturut-turut istikmal terus.

Sementara kalender Nahdliyyin memandang cukup hilal berderajat dua, sudah bisa dirukyah. Kini bahkan lebih rendah dari itu. Meski tim rukyah NU berani bersumpah dan siap disumpah bahwa hilal sudah terlihat, tapi pemerintah waktu itu tidak menggubris. Jadilah tidak bareng beridil fitri.

Lalu, era orde baru tumbang dan Gus Dur menjadi presiden. Saat itulah dulur-dulur Muhammadiyah mengubah pola pikir secara drastis. Semula pakai rukyah derajat tinggi dan selalu kalah start, menjadi tidak rukyah-rukyahan dan hanya berpedoman hisab saja. Pokoknya hilal sudah diperkiraan wujud (ada), imkan al-wujud menurut hitungan mereka, walau NOL KOMA sekian derajat di atas ufuk, maka sudah dihitung tanggal satu bulan baru. Jadinya, mendahului. Terserah pembaca mau komentar apa: Itu dinamika ijtihad ikhwan Muhammadiyah atau inkonsistensi pemikiran?

Sumber: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO