Harga Singkong dan Kelapa Anjlok, Petani di Pacitan Menjerit

Harga Singkong dan Kelapa Anjlok, Petani di Pacitan Menjerit ILUSTRASI - Harga Singkong merosot diniali akibat kebijakan impor dari pemerintah pusat.

PACITAN, BANGSAONLINE.com - Petani singkong di Pacitan kembali menjerit. Itu dikarenakan anjloknya harga panenan mereka yang hanya bisa terjual seharga Rp 800 per kilogram (kg). Tak hanya singkong, namun harga kelapa juga terjun bebas. 

Merunut informasi yang berhasil dirangkum wartawan, saat ini salah satu pabrik pengolah tepung tapioka di Karanganyar, Jateng, lagi kebanjiran bahan baku sebagai imbas kebijakan pemerintah melakukan impor singkong.

Tentu saja kebijakan tersebut membuat petani lokal kelabakan. Sebab pabrik hanya berani membeli hasil panenan petani tak lebih dari Rp 800 per kg. Belum lagi volume penjualan ke pabrik juga sangat dibatasi.

Di sisi lain, harga kelapa saat ini hanya bisa bertengger tak lebih dari Rp 600 per biji. Menyikapi persoalan tersebut, Pemkab Pacitan hanya bisa menjadi penonton. Sebab masalah itu berlaku secara nasional.

"Daerah tak bisa berbuat apa-apa, sebab itu (impor ketela) merupakan kebijakan pemerintah pusat. Begitu pun dengan harga kelapa yang makin hari semakin merosot. Kami juga tak bisa berbuat lebih, kecuali hanya sebatas memberikan semangat kepada petani agar tetap sabar dan tabah," ujar Joni Maryono, Assiten Perekonomian dan Pembangunan Sekkab Pacitan, Rabu (28/11).

Menurut Joni, ketela dan kelapa harus diakui sebagai komoditas andalan di Pacitan. Sebab secara topografi dan geografis wilayah, di Pacitan memang sangat cocok untuk ditanami dua komoditas tersebut.

Namun, kebijakan memang belum berpihak pada petani. "Kami hanya bisa menyarankan agar hasil panenan singkong maupun kelapa tidak dijual dalam bentuk roow material. Namun paling tidak bisa menjadi second produk. Sehingga akan memiliki nilai ekonomis lebih tinggi," arahnya.

Sementara itu sebagaimana diketahui, di era Bupati H. Suyono lalu, komoditas ketela pernah menjadi program daerah yang cukup prospektif. Yaitu dengan ketela mukibat yang bisa dijadikan sumber energi alternatif.

Namun sayang, program tersebut saat ini hanya tinggal kenangan. Sebab tidak ada tindak lanjutnya.

Dinas Pertanian juga sempat mendengungkan adanya upaya diversifikasi pangan, yang salah satunya dengan mengandalkan produksi ketela sebagai pengganti beras. Akan tetapi semua program itu juga tidak ada tindak lanjutnya. (yun/dur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO