Sumamburat: Dor... Dor... Lantas Dok-Dok

Sumamburat: Dor... Dor... Lantas Dok-Dok Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

JUMAT, 25 Mei 2018 lalu itu teramat keramat. Penantian hampir dua tahun “pembuaian” RUU Antiterorisme mencapai titik klimaksnya. DPR RI “membulatkan komitmen” atas naskah Revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) menjadi undang-undang.

Pengesahan ini berlangsung “dramatik” dengan faktor menyorong yang dapat disimak dengan terang. Kejadian “menggelegar” di Kota Surabaya disaksikan publik turut “menyeret percepatan pembahasan” RUU dimaksud. Semua pihak berlomba tampil terdepan sebagai yang berjasa mengatasi secara yuridis tragedi kemanusiaan di Kota Pahlawan. Habis “dor-doran” terbitlah “dok-dokan” undang-undang.

Kecaman dan kutukan atas duka itu terus digelegerkan tanpa jeda. Sampai hari ini spanduk-spanduk terus bergelantungan di ruas-ruas metropolitan. Emosi warga digelorakan untuk turut merasakan perihnya luka dan nestapanya derita hayat yang terenggut. Hal itu sangat patut diberikan manusia yang beradab. Warga kota ini menunjukkan solidaritasnya walau terkadang tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang sejatinya terjadi, hingga tulisan yang terlontarkan dikait-kaitkan dengan ajaran Islam tentang jihad dan sahid.

Semua orang mafhum bahwa laku teror itu bukanlah manifestasi nilai-nilai jihad dan kematian yang dirindukan berupa mati sahid sebagaimana diajaakan dalam Islam. Kejadian itu merupakan kejahatan terencana dan keji serta mungkar. Untuk itulah kosmologi perilaku itu tidaklah elok dikaitkan dengan nilai-nilai religius yang tendensius dengan arah telunjuk yang dapat dirasakan ke mana akhirnya.

Kejadian yang menggegerkan Surabaya itu memang sangat mencekam, dan kisahnya mengingatkan saya pada apa yang pernah terjadi di belantara kota-kota metropolitan dunia. 13 wanita meninggal, semuanya dibunuh secara kejam, dan 7 perempuan lain cedera parah. Kejadian itu benar-benar mencengangkan. Selama lebih dari lima tahun, Yorkshire, di utara Inggris, diteror seorang pria yang terkenal sebagai “Yorkshire Ripper”. Nyaris 20 tahun polisi belum juga sampai pada penelusuran jejak si pembunuh. Tentu di abad ilmu pengetahuan forensik modern, pastilah dapat bekerja lebih cepat dari itu. Namun, ketika polisi akhirnya menahan seorang supir truk bernama Peter Sutcliffe, hal itu lebih dikarenakan kesempatan yang menguntungkan. Jadi, ke mana saja polisi selama ini?

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO