Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
"Subhaana alladzii asraa bi’abdihi ... ". Konteks al-Isra' adalah audisi seorang hamba dengan sang Pencipta di tempat yang sangat luar biasa, lepas dari kebumian dan orbit keplanetan, Sidratul Muntaha yang super sakral. Bukan antara Tuhan yang Mengutus dengan orang yang diutus (rasul) dalam konteks kebumian.
Untuk itu, seluruh jabatan kebumian, meski itu jabatan tertinggi, jabatan sangat mulia dan religious harus ditanggalkan. Meski benar Muhammad SAW adalah nabi, adalah Rasul, tapi itu untuk gelar kebumian dan sosio keagamaan saja. Maka harus ditanggalkan ketika memasuki ruang "ketuhanan" yang jauh dan sangat jauh di luar orbit bumi.
Pada formasi itu, yang ada dalam diri seorang Muhammad SAW hanyalah hakekat diri, yakni ciptaan-Nya, hamba-Nya dan tidak lebih. Layaknya hakekat sebuah pangkat, sebuah gelar, gelar menjadi eksis dan prestisius terbatas hanya pada ruang gelar itu sendiri, dihormati, dan dipatuhi.
Kepangkatan militer hanyalah diberlaku di kalangan militer saja. Warga sipil tidak punya kewajiban patuh total kepada kepangkatan yang mereka rumus. Bahkan sang jenderal negeri ini kemarin ditolak masuk ke Amerika. Begitu halnya kepangkatan-kepangkatan duniawi lain.