Kisah Surat Al-Maidah 51 pada Masa Khalifah Umar dan Gubernur Abu Musa Al-Asyari

Kisah Surat Al-Maidah 51 pada Masa Khalifah Umar dan Gubernur Abu Musa Al-Asyari Nadirsyah Hosen

Oleh: Nadirsyah Hosen

Belakangan ini beredar kutipan kisah Sayyidina Umar bin Khattab, Khalifah kedua, dengan sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ari. Dialog yang dinukil dari Tafsir Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Maidah ayat 51 dipakai sebagian pihak untuk menyerang kandidat tertentu dalam Pilkada DKI. Bagaimana sebenarnya kisah tersebut? Mari kita pelajari bersama, dan untuk sementara kita niatkan untuk mengaji saja, bukan membahas Pilkada. Ini biar kajian kita menjadi obyektif.

Kisahnya sendiri dikutip oleh sejumlah kitab Tafsir, dengan perbedaan redaksi, perbedaan riwayat dan perbedaan konteks ayat ketika kisah ini diceritakan ulang. Begitu juga kita harus memahami pernyataan Khalifah Umar baik dalam konteks Usul al-Fiqh maupun dalam konteks Fiqh Siyasah. Mari kita bahas satu per satu.

Memahami background kisah

Pemahaman akan konteks akan membantu kita memahami teks. Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Islam mulai meluas merambah area di luar Hijaz. Abu Musa al-Asy’ari diangkat menjadi Gubernur di Bashrah, Iraq. Khalifah Umar meminta laporan berkala kepada para Gubernurnya. Maka diriwayatkan Abu Musa mengangkat seorang Kristen sebagai Katib (sekretaris).

Sekretaris yang tidak disebutkan namanya ini bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa selaku Gubernur. Abu Musa membawa Sekretarisnya ini memasuki Madinah, dan mereka menghadap Khalifah Umar. Umar takjub dengan kerapian catatan yang dibuat oleh sekretaris Abu Musa.

Datang pula laporan keuangan dari Syam. Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam itu di Masjid Nabawi. Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.” Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?” “Bukan, dia Nasrani,” jawab Abu Musa. Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”

Kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah 51. Kisah di atas dinukil dari Tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. Saya cek kitab Tafsir Ibn Abi Hatim dan menemukan kisah yang sama. Kisah tersebut juga dicantumkan dalam sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.

Perbedaan redaksi

Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubi, di mana di bagian akhir dialog ada perbedaan ucapan Umar. Imam al-Qurtubi juga mencantumkan kisah di atas bukan dalam QS al-Maidah:51 tapi dalam QS Ali Imran:118. Ini yang disampaikan Umar versi Tafsir al-Qurtubi: “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.

Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Razi, sebagaimana juga disebutkan dalam Kitab Tafsir Bahrul Muhit, al-Lubab fi Ulumil Kitab, Tafsir al-Naisaburi ada lanjutan dialognya: Abu Musa berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrah kecuali dibantu orang ini”. Khalifah Umar yang sedang murka, menjawab singkat: “Mati saja lah orang Kristen itu. Wassalam”.

Para ulama menafsirkan maksud perkataan Umar terakhir itu dengan makna: “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok dia meninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggap saja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusi urusan itu.”

Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.

Kenapa Khalifah Umar Marah?

Dialog di atas terjadi di Madinah. Di sini kunci kita memahami kemarahan Khalifah Umar. Abu Musa membawa sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam saja. Bahkan Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di Masjid. Barulah Abu Musa mengaku kepada Khalifah latar belakang sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalifah Umar saat memarahi Abu Musa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalifah Umar, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”.

Maksudnya adalah keharaman wilayah Madinah yang steril dari non Muslim karena Allah sudah jauhkan mereka, eh kok malah dibawa masuk oleh Abu Musa. Jadi ini bukan semata-mata persoalan Abu Musa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian wilayah Madinah. Pemahaman ini dikonfirmasi oleh Ibn Katsir dalam kitabnya yang lain yang berjudul Musnad al-Faruq.

Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah ketergantungan Abu Musa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat strategis yang keuangan pemerintahan di mana di dalamnya termasuk catatan zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantungan itu tampak dengan Abu Musa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yang Kristen itu mendampingi dia memberi laporan kepada Khalifah.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO