Besaran Anggaran Pilgub Jatim Sulit Diprediksi

Besaran Anggaran Pilgub Jatim Sulit Diprediksi

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Dana Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018 yang diprediksikan mencapai Rp 2,2 triliun terancam membengkak lagi. Menyusul belum adanya kepastian dari pemerintah pusat yang akan menanggung dana kampanye terkait dengan alat peraga calon. Mengingat Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) 2016 mengalami defisit.

Gubernur Jatim, Soekarwo membenarkan jika dana yang sudah dialokasikan saat ini kemungkinan membengkak, jika APBN tidak mengalokasikan dana kampanye untuk calon terkait dengan alat peraga. Pasalnya, dalam UU Pilkada disebutkan jika dana untuk pembelian alat peraga calon ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini APBN.

"Jika APBN tidak ada anggarannya, maka otomatis hal ini akan dibebankan di APBD. Karenanya, kami tidak bisa memprediksikan anggaran PIlgub 2018 nanti sebelum ada regulasi dari pemerintah pusat," tegas Pakde Karwo--sapaan akrab Gubernur Jatim ini, Minggu (28/8).

Namun demikian, Pemprov Jatim bersama DPRD Jatim tetap mengalokasikan anggaran Rp 400 miliar atau total Rp 600 miliar dalam APBD 2017 ini.

"Makanya kita terus pantau perkembangannya. Dan masih ada tiga tempat yang akan menjadi tambahan jika memang ada pembengkakan pada dana Pilgub Jatim, di antaranya APBD murni 2017, PAPBD 2017 dan APBD murni 2018," ujar mantan Sekdaprov Jatim ini.

Memang, Pakde Karwo mengakui sangat berat menghadapi beban tersebut di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Namun demikian Pilgub Jatim tetap harus dilaksanakan dengan segala konsekuensinya.

Sementara Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim, Miftahul Ulum menegaskan jika masukan Komisi A ke Komisi II DPR RI dan Mendagri terkait wacana pemilihat Bupati/Walikota dan Gubernur dilaksanakan di dewan dalam kondisi saat ini cukup pas. Mengingat hampir semua wilayah mengalami defisit, Namun dalam pemilihan bupati/walikota/gubernur ada sedikit perbedaan dibanding sebelumnya.

Di mana untuk bupati/walikota dipilih mulai tingkat RT/RW yang merupakan perwakilan rakyat yang ada di bawah, kemudian dilajutkan ke tingkat lurah dan camat sebagai masukan untuk di bawah di parlemen. Demikian dengan gubernur tentunya akan melibatkan bupati/wali kota di masing-masing wilayah serta DPRD-nya.

"Kami mengambil model bottom up, karena suara rakyat di bawah juga diperhitungkan, namun cukup diwakili RT/RW. Dengan begitu anggaran negara yang dipakai sangat minim sekali," pungkas politisi asal PKB ini. (mdr/ros) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO