Tafsir Al-Nahl 93-94: Janji Politik Biasanya Bohong

Tafsir Al-Nahl 93-94: Janji Politik Biasanya Bohong

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com -  Walaw syaa-a allaahu laja’alakum ummatan waahidatan walaakin yudhillu man yasyaau wayahdii man yasyaau walatus-alunna ‘ammaa kuntum ta’maluuna (93). Walaa tattakhidzuu aymaanakum dakhalan baynakum fatazilla qadamun ba’da tsubuutihaa watadzuuquu alssuu-a bimaa shadadtum ‘an sabiili allaahi walakum ‘adzaabun ‘azhiimun (94).

Tiga ayat studi terakhir ini (92, 93 dan 94), pesannya unik, termasuk susunan dan urutannya. Pada ayat 92, dikedepankan soal larangan bersumpah demi meraih suara terbanyak. Lalu diselingi soal hidayah yang merupakan otorita Tuhan pada ayat 93. Tidak hanya itu, Tuhan juga mengancam akan membongkar semua kebusukan dan memberikan balasan. Kemudian kembali lagi melarang bersumpah-sumpah demi menarik simpati publik pada ayat 94.

Pesan globalnya begini, bahwa nafsu politik seseorang menjadi pemimpin itu sangat besar hingga tega berbuat apa saja, termasuk bersumpah-sumpah di hadapan publik meski dirinya sadar bahwa apa yang disumpahkan, apa yang dijanjikan itu susah diwujudkan. Begitulah godaan pangkat, sungguh sangat kuat dan memabukkan, jauh melebihi pengaruh narkoba.

Seseorang yang teler karena narkoba atau minuman keras, paling membahayakan diri sendiri saja, kadang mengganggu orang lain, tapi tidak sampai merusak negara. Tapi kalau orang mabuk pangkat, bisa korup besar-besaran dan merusak negara. Untuk itu, dicelah-celah dua ayat larangan bersumpah menarik simpati tadi diselingi ayat hidayah yang ada di tangan Tuhan, agar seseorang segera mendekat kepada-Nya dan mengunduh hidayah dari-Nya. Itulah satu-satunya jalan penyelamat. Jika itu yang dilakukan, maka selamatlah dia dari pengkhianatan terhadap amanat kepemimpinan.

Ada perbedaan gaya pesan pada dua ayat bermiripan tersebut. Pada ayat 92, disinggung soal sumpah politik demi mendapatkan simpati dari kelompok yang lebih besar, demi mendapatkan suara lebih banyak.

"Tattakhidzuna aimanakum dakhala bainakum an takun ummah hiy arba min ummah". Kalimat serupa diulang lagi pada ayat studi ini (94) dengan bubuhan kata larangan yang tegas "La" (jangan). "wa la tattakhidzu aimanakum dakhala bainakum" tapi tidak berorientasi pada tujuan menarik simpati, melainkan menunjuk akibat buruk yang timbul dari sumpah dan janji politik tersebut. Ada tiga, yakni:

Pertama, tergelincir, "fatazill qadam ba'd tsubutiha". Dipakai istilah tergelincir (zalla) sebagai kiasan, bahwa orang yang mengumbar janji politik berpotensi tergelincir dan keluar dari jalur yang benar. Seperti kaki yang tergelincir saat berjalan, pasti keluar dari alur yang benar, menjadi terjatuh atau keseleo. Pastinya, pemimpin tersebut tidak akan bertindak lurus dalam mengemban amanat kekeuasaan. Pasti ada curang, pasti berkhianat, entah seberapa.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO