Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
66. Qaala lahu muusaa hal attabi’uka ‘alaa an tu’allimani mimmaa ‘ullimta rusydaan
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
- Nabi-Nabi Sebelum Nabi Muhammad juga Dihina dan Disakiti
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
67. Oaala innaka lan tastathii’a ma’iya shabraan
Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku.
68. Wakayfa tashbiru ‘alaa maa lam tuhith bihi khubraan
Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”
TAFSIR AKTUAL
Seperti ditutur pada ayat sebelumnya, bahwa Khidir A.S. adalah mahaguru yang dicari-cari oleh nabi Musa A.S. dan diketemukan di majma’ al-bahrain, tepi laut. Khidir yang nabi itu sedang menghadapi seorang rasul, Musa dengan disiplin ilmu berbeda.
Urusan strata, meskipun sama-sama dianugerahi wahyu, tapi Rasul berkewajiban mendidik umat, sementara nabi tidak. Jadi, rasul lebih tinggi. Tapi soal disiplin ilmu atau spesifikasi, tentu tidak bisa diperbandingkan. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Ketahuilah, hanya air yang bisa membesarkan pohon. Meskipun susu lebih komplit, tapi susu tidak bisa membesarkan pohon.
Kali ini sang Rasul yang mau menimba ilmu dari sang nabi untuk menambal kekurangan yang ada padanya. Persoalannya tentu tidak semudah itu, karena perbedaan silabi dan cara pandang.
Rasul mengampu syari’ah murni dengan pandangan lahiriah tentu tidak mudah memahami pola irfaniah yang meninitik beratkan kondisi obyektif di depan yang tak terlihat, tak terjangkau. Syariah yang diampu Musa menghukumi apa yang ada, yang terlihat sekarang. Sementara hakikat irfaniah yang diampu Khadlir menghukumi yang akan datang dan tak terlihat.
Benar, ilmu Musa adalah ilmu lahiriah, sedangkan ilmunya Khidir adalah ilmu batiniah. Inilah perbedaan mendasar yang dalam kisah lanjutan nanti, keduanya tidak bisa ketemu. Meskipun demikian, ayat studi ini menyiratkan banyak mutiara hikmah yang patut kita petik.
Diawali sowanan Musa ke hadirat Khidir, dengan penuh tawadlu’ Musa memohon agar sang Guru berkenan menerimanya sebagai murid yang menimba ilmu kepadanya. “Hal attabi’uk ‘ala an tu’allimani mimma ‘ullimta rusyda”. Inilah yang kemudian berkembang dan diformalkan menjadi pendaftaran bagi siswa baru.