Tafsir Al-Kahfi 61-64: Andai Android Zaman Musa A.S.

Tafsir Al-Kahfi 61-64: Andai Android Zaman Musa A.S. Ilustrasi

Musa A.S. mengerti, bahwa perjalanan memburu guru spiritual tidak mudah. Meski lokasinya ditunjuk, tapi tidak dijelaskan persisnya. Inilah cara Tuhan memberi tahu orang pinter, tidak perlu dijelaskan secara detail, cukup secara umum saja.

Orang cerdas tidak suka mengeluh dan tidak menuntut penjelasan rinci. Berbeda dengan orang bodoh dan malas. Maunya jelas, ringan, dan tidak susah-susah. Orang cerdas menggunakan kecerdasannya seoptimal mungkin demi menacapai harapan. Orang cerdas yakin sekali akan bisa menemukan jalan, entah bagaimana caranya. Semua yang ada dimanfaatkan dan dijadikan piranti untuk sukses. Tidak sama dengan orang bodoh, semua dijadikan alasan untuk gagal.

Musa dan Yusa’ sejatinya sudah sampai di Majma’ al-Bahrain yang dituju, tetapi tidak dimengerti. Sesungguhnya Musa A.S. sudah mengerti indikator terkait keberadaan Khadlir secara persis, tetapi Tuhan tidak memperlihatkan kepadanya, melainkan kepada santrinya.

Meski si santri hanya tertegun dan tidak memberi tahu peristiwa ajaib, tapi akhirnya terungkap juga. Di sini pentingnya didampingi seorang “fata”, asisten, teman, santri, atau pembantu dalam mengurus hal penting. Di samping membantu secara tenaga, dia juga bisa sebagai perantara menemukan sesuatu yang dituju. Itulah pembantu yang bermanfaat.

Tuhan sengaja melenakan dan menutup mata Musa hingga tidak menyaksikan peristiwa lompatnya ikan, juga membungkam mulut Yusa’ hingga tidak segera memberitahu kepada Musa. Dia hanya tertegun kagum dan tidak memandang hal ajaib tersebut sebagai penting diberitahukan, sehingga Musa terus melanjutkan perjalanan.

Begitulah cara Tuhan mendidik hamba-Nya yang terkasih, tidak cukup sekali tempuh, lalu berhasil. Masih ada tambahan materi uji kesabaran, masih ada sesuatu yang meleset dan kelewatan. Tapi Musa tidak kecewa dan terus berusaha. Ini menunjukkan betapa Musa A.S. sungguh teladan bagi pemburu ilmu. Ya Allah, beri kami bimbingan-Mu demi lebih semangat menuntut ilmu.

Pemeloncoan Tuhan tersebut juga bisa dibaca sebagai “hukuman” atas diri Musa yang sebelumnya congkak, karena merasa paling pinter sendiri di dunia dan itu diucapkan di hadapan publik. Itu tidak pantas dilakukan oleh manusia sekelas Musa, maka hukumannya harus ditambah. Yakni berupa kebablasan, sehingga harus balik lagi. Makin tinggi derajat seseorang, makin berat ujiannya.

Benar, setelah pemeloncoan dirasa cukup, akhirnya Tuhan kasihan dan menyudahi perjalanan Musa. Sudah tiba waktunya Musa bertemu dengan guru spiritual yang didambakan dengan perantara acara makan siang (ghda’).

Jadi, ghada’ itu makan siang, karena menurut ayat ini dilakukan setelah perjalanan siang dan payah, “Laqad laqina min safarina hadza nashaba”. Sedangkan sarapan atau makan pagi itu “futhur”, yakni makan pertama hari itu dan biasanya pagi hari. Berbuka puasa juga disebut ifthar, futhur, karena merupakan makan pertama hari itu, meskipun dilakukan saat maghrib.

Napak tilas itu titi tur teliti, maka tercapai. Makanya, napak tilas itu harus persis dan benar-benar sesuai rute dan polanya, sehingga bisa mengambil pelajaran dari lelaku tersebut. Bukan sekadar seremonial dan hura-hura. “fa irtadda ‘ala atsarihima qasasa”.

Tidak ada keterangan Musa memarahi asistennya yang tidak memberi tahu, karena Musa memang tidak memberi tahu akan terjadinya hal itu sebelumnya. Musa sengaja tidak memberi tahu karena kuatir Yusa’ tidak bisa memahami peristiwa aneh tersebut. Maka memilih didiamkan saja dan membiarkan semuanya berjalan menurut kehendak Tuhan.

Dan ternyata Tuhan mengatur dengan cara-Nya sendiri. Itulah ketawadluan nabi Musa A.S. mampu menyimpan hal yang ajaib dan rahasia. Musa sadar, bahwa ini bukan konsumsi publik dan andai diberitahukan, maka belum tentu persoalan menjadi lebih baik.

Ini pelajaran bagi tuan-tuan yang punya kelebihan dan karamah, hendaknya disimpan saja dan ditutupi, cukup Allah SWT saja yang mengerti. Jangan gampang-gampang pamer, itu sum’ah dan riya’. Sesuatu yang terbuka, mudah sekali menguap dan sirna. Sesuatu yang dipamerkan, rawan sekali disambar orang.

Ayat studi di atas juga merupakan pendidikan bagi “al-fata”, asisten, santri, pembantu yang mendampingi bos dalam usaha menggapai sesuatu. Maka asisten harus tanggap terhadap apa saja yang dianggap penting. Ditunjuk sebagai pembantu itu untuk membantu, maka sebisa-bisanya ya harus membantu, jangan membisu dan diam. Sampaikan dengan benar setiap apa saja yang perlu.

Pelajaran tak kalah menarik adalah bekal, kelengkapan yang dibawa Musa dalam perjalanan panjang ini. Itu demi perjalanan menjadi nyaman dan tidak kelaparan. Untuk itu, meminta-minta karena kehabisan bekal di perjalan harusnya dihindari, meskipun agama menfasilitasi dengan adanya jatah zakat bagi Ibn al-sabil.

Memang nabi Musa A.S. tidak membawa ponsel untuk melacak lokasi guru spiritualnya secara tepat. Tapi hanya dengan indikator, Musa mampu menerjemah dengan kecerdasannya sendiri dan tepat. Tapi kita bukan nabi, maka memanfaatkan android untuk googling, shareloc menjadi piranti kemudahan. Itu ilmu Tuhan yang diberikan kepada umat manusia untuk kemudahan.

Tuhan itu menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Maka memberi kemudahan adalah bagian dari ibadah, bagian dari sebaran rahmah. Tokoh agama, kiai, ustadz, penceramah yang dibutuhkan umat “wajib” punya ponsel agar umat terlayani dengan mudah. Itulah pribadi rahmatah li al-alamin. Andai waktu itu sudah ada teknologi android, google map, kami yakin Musa juga shareloc-shareloc-an dengan nabi Khadlir A.S. 

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO