Tafsir Al-Isra 84: Al-'Amal 'ala Syakilah & Al-'Amal 'ala Makanah

Tafsir Al-Isra 84: Al- Ilustrasi: Cristiano Ronaldo sedang menggiring bola. foto: GiveMeSport

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

84. Qul kullun ya’malu ‘alaa syaakilatihi farabbukum a’lamu biman huwa ahdaa sabiilaan.

Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.


TAFSIR AKTUAL

Ayat sebelumnya dipapar tentang, hampir saja harta itu menjadi Tuhan, dalam artian, ada manusia yang terlalu memandang harta sebagai segalanya dalam kehidupan ini. Murung ketika pailit, dan congkak ketika berduit. Orang macam ini pasti keimanannya sedang lemah.

Memang uang adalah penyanggah kehidupan, tapi rezeki itu mutlak pemberian Tuhan. Usaha adalah media belaka, bukan penentu. Anak kecil dan orang gila tidak bekerja, tapi tetap bisa hidup, meski sekadar hidup.

Ayat kaji ini seolah memberi solusi cerdas, bahwa manusia dituntut punya skill (syakilah) yang menjanjikan. Dengan skill tersebut, seseorang lebih jembar menjalani kehidupan, karena punya kelebihan yang bisa menghasilkan uang secara menggembirakan.

Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, M. Salah, sekadar punya syakilah di kakinya, lalu menjadi pemain sepak bola kelas dunia, maka kekayaan mereka sangat fantastis. Meski skill-nya menyakiti, mencederai, bahkan bisa menghilangkan nyawa orang, seperti petinju papan atas, tetap saja dibanjiri kekayaan. Begitu hebatnya skill yang dipapar pada ayat ini.

Syakilah yang dimaksud pada ayat ini sifatnya masih umum, tidak ada warna etika atau keimanan. Ya memang begitu. Skill itu terkait keahlian, bakat, kecerdasan, kepiawaian, bukan pada keagamaan atawa ketaqwaan. Lalu, pretelan ayat di atas bisa terbaca seperti ini:

Pertama, kata "kull" (kull ya'mal 'ala syakilah), yang menunjuk arti masing-masing individu. Artinya, setiap orang -sejatinya- punya syakilah sendiri-sendiri. Setiap anak kita punya skill berbeda, meski lahir dari ibu dan ayah yang sama.

Dengan syakilah itu, kehidupan ke depan menjadi berbeda dan bermakna bagi yang bersangkutan. Hanya saja, sering kali persepsi publik membuat parameter sendiri, di mana semua orang harus pakai parameter itu. Misalnya, keilmuan. Jadinya, orang yang tidak punya ilmu tinggi tidak dianggap dan tidak diperhitungkan.

Lebih tajam lagi ketika ada di kalangan pondok pesantren, di mana tolok ukurnya adalah pinter ilmu agama. Lebih klasik dari itu adalah pakai parameter menguasai kitab kuning dan lain-lain. Anak yang tidak bisa membaca kitab klasik tidak masuk perhitungan. Ya, itu benar, tapi salah satunya, bukan parameter satu-satunya.

Sementara di bidang lain, tentu parameternya berbeda. Di kedokteran, tentu ilmu kedokteran yang diutamakan. Dan kehidupan ini memang butuh dokter. Di dunia pertanian dibutuhkan ahli pertaian. Dan dunia memang butuh hasil pertanian. Begitu halnya pertambangan, perdagangan, teknologi, dan lain-lain.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO