Mengungkap Politik Uang Pileg (3), Caleg Tokoh Agama pun Terjerambap Money Politics

Mengungkap Politik Uang Pileg (3), Caleg Tokoh Agama pun Terjerambap Money Politics Ilustrasi. foto: bangsaonline.com

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Praktik dalam pileg akan terus subur. Bahkan praktik dalam pileg kini sudah masuk kategori ilmu ekonomi yang disebut “supply and demand”. Jadi praktik money politics sudah menjadi wilayah pasar yang menyangkut penawaran dan permintaan yang sulit dihindari sehingga ibarat lingkaran setan yang sulit diurai.

Karena itu jangan heran jika caleg tokoh agama yang terkenal idealis dan moralis pun akan terjerambap ke dalam money politics jika ingin lolos ke gedung parlemen. Faktanya, semua caleg cenderung machiavellian jika ingin lolos sebagai anggota DPR. Dan mereka sudah punya dalil sendiri.

“Semua caleg lawan kita curang dan pakai uang. Karena itu kalau kita ingin lolos juga harus curang dan pakai uang. Setelah lolos baru kita berpikir memperbaiki negara dan masyarakat,” demikian alibi mereka.

Pragmatisme rakyat sudah luar biasa, terutama pada tingkat ekonomi lapisan bawah. Mereka bahkan menyapa caleg dengan istilah NPWP yang artinya Nomor Piro Wani Piro (nomor urut berapa, berani bayar berapa). Menurut mereka, ada uang, ada suara. Maka jangan heran jika makelar suara marak menjelang dan saat pileg.

Meski demikian bukan berarti dana besar menjamin seratus persen perolehan suara. Sebab seperti dalam praktik mafioso, money politics dalam pileg juga terjadi kanibal suara luar biasa. Seorang caleg bercerita, pada malam coblosan ia menabur uang Rp 50.000,- untuk setiap orang (calon pemilih). Ternyata besok paginya menjelang coblosan, caleg lain membilas jejak caleg itu dengan uang Rp 100.000,- per orang. Praktis, suara caleg yang menabur Rp 50.000 per orang itu lenyap bagai ditelan bumi.

Bagi politikus machiavellian, realitas rakyat yang pragmatis ini justru “menyenangkan”. Apalagi bagi para politikus tak punya basis massa, tapi berkantong tebal. Ibarat perang, para politikus itu sudah tahu kelemahan rakyat dari wilayah mana harus diserang. Mereka tak perlu susah payah kampanye untuk meyakinkan rakyat dengan program dan integritas caleg karena rakyat di bawah bisa ditaklukkan dengan uang Rp 50.000,- atau Rp 100.000,-

Anehnya, rakyat yang pragmatis itu masih berharap hadirnya wakil rakyat yang bersih, tidak korupsi, dan peduli terhadap nasib mereka. Dalam beberapa dialog mereka bahkan mengecam para anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi. Mereka tidak sadar bahwa pragmatisme yang melanda rakyat di bawah saat pileg juga bagian dari korupsi yang masif.

Justru sikap pragmatisme rakyat di lapisan bawah itulah yang turut mempersubur korupsi para anggota DPR atau DPRD. Logikanya sederhana. Seorang anggota DPR atau DPRD Provinsi butuh suara paling sedikit 60.000 atau 80.000 suara atau bahkan 100.000 suara, baik sendirian maupun secara kolektif bersama suara partai dan caleg lain separtai. Nah, jika caleg butuh 60.000 suara saja maka kita kalikan Rp 100.000,- yang berarti Rp 6.000.000.000.

Berarti untuk jadi anggota DPR atau DPRD Provinsi butuh dana serangan fajar Rp 6.000.000.000. Ini belum termasuk dana sosialisasi, konsolidasi, operasional tim sukses, souvenir, amplop untuk orang-orang berpengaruh yang harus disowani, dan seterusnya.

Karena itu begitu dilantik semua anggota DPR, pasti langsung berpikir bagaimana segera mengembalikan uang miliaran rupiah yang telah dikeluarkan untuk membiayai pesta demokrasi – atau lebih tepatnya “pesta rakyat” - lima tahun sekali. Itu “manusiawi”. Karena para anggota DPR sadar, sangat mustahil bisa segera mengembalikan modal “pesta rakyat” hanya dengan cara mengandalkan gaji resmi bulanan yang jumlahnya tak akan mencukupi meski menjabat selama 5 tahun. Praktis mereka harus cari “kreasi” untuk segera melunasi atau menutup modal “pesta rakyat” itu dengan cara mempersentase fee program yang sejatinya hak rakyat. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO