Sumamburat: Debat Sebatas Imaji Don Quixote

Sumamburat: Debat Sebatas Imaji Don Quixote Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

DEBAT capres kedua telah digelar dengan segala kehormatannya pada 17 Februari 2019. Riuh tepuk tangan dan sorakan terdengar di setiap kerumunan sebagai lahan hiburan politik yang sangat komunalistik. Saya sendiri menepikan diri dari hingar nan membingar perdebatan itu secara sadar melalui langkah memilih mundur sebagai panelis agenda KPU tersebut. Bukan, bukan, bukan karena tidak hendak mendapatkan sorot kamera atau selaksa ucapan selamat dari para kolega, tetapi sekadar ingin berdiri di pojok sudut sebuah halaman agar lebih jernih melihat lalu lalang orang. Kata yang bersemliwer tentang energi, pangan, SDA, lingkungan dan infrastruktur tampak terekam dengan penuh buncahan. Para capres saling melambungkan ucapan dengan segala konsekuensinya.

Saya menyaksikan sambil memperhatikan persyaratan yang menuntun jalannya debat. Pada sisi ini terlihat ada yang merasa jumawah dan menampilkan diri seolah juara yang melenggang pada panggung kekuasaan, untuk kesekian lama lagi. Data diunggah dengan diksi yang meyakinkan bagi umum, tetapi tidak bagi saya. Data yang dipaparkan terlihat seperti arahan kepada bawahan hingga seluruh anak buah harus mencatat apa yang dikatakan adalah kebenaran walaupun itu bukan benar-benar data.

Itulah data yang dianggitkan benar bagi dirinya, bukan bagi pemirsa. Pengucapnya berimajinasi tentang data dan inilah sebuah penanda bahwa dia menang karena mengucap penuh gaya yang meyakin saja bagi dirinya. Publik juga punya data lain mengenai hal yang sama, tetapi ini jangan dianggap sebagai wujud yang menandakan dia sedang berbohong. Data publik itu bukan bentuk kebohongan bagi si dia yang telah menggambarkan data miliknya. Data dia benar sebagaimana yang dirinya sendiri mengimajinasikannya dan data publik itu pun kebenaran yang faktanya ada dalam deret rasa khalayak. Sampai di sini ada batas-batas kebenaran yang yang semburat untuk siapa saja. Dia benar dalam dirinya sendiri sehingga mengolok yang lain bukanlah kesalahan, termasuk bagaimana orang-orang yang mengerubutinya selama ini mengusai lahan dalam hitungan hektar yang tidak terbayangkan.

Debat pada derajat tertentu telah menjadi panggung panjang dusta atau pengingkaran atas janji-janjinya. Kaedah hukum yang menuntun diri bagaimana “balasan bagi pembohong” tidaklah penting, sebab dirinya sudah merasa di atas hukum siapa pun sambil menonjol-nonjolkan diri hanya berketakutan kepada-Nya. Padahal yang dianggitkan mengenai-Nya itu selama ini telah pula diselimuti “janji yang tidak sampai diisi”. Atas kondisi ini saya menikmati saja novel A Confession karya Leo Tolstoy yang terbit 1882 yang merilis: “Menjadi jelas untuk mengatakan, di ruang dan waktu tanpa batas, semuanya berkembang menjadi lebih sempurna dan semakin sempurna adalah berbeda”. Ya beda antara yang dikatakan dengan yang ada di ranah lainnya. Beda antara janji dan realisasi.

Dalam hal ini saya pun terhanyut dalam kebenaran yang diunggah oleh Don Quixote, tokoh sentral dalam novel besutan penyair top Spanyol, Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616). Don Kisot merupakan cerita kesatria kesiangan yang mampu menyihir pembacanya untuk percaya kepada seluruh imajinasinya. Jadi dia hanya berimajinasi seolah dirinya kesatria sejati. Novel Don Quixote de la Mancha seperti kitab yang membius dunia dan telah dibaca ratusan juta atau kini bermiliar khalayak sejak terbit perdana tahun 1605.

Don Quixote seolah berkhotbah dengan penuh wibawa: “Kau tahu apa tentang kesatria dan prajurit? Bagi seseorang yang mematuhi hukum kesatriaan tak perlu memperhatikan hukum yang lain”. Ya … siapa saja yang memanggul nilai kesatria sedasar dengan pengakuan saya Pancasila tidaklah perlu aturan berdebat yang santun atau katakan dengan sejujurnya tentang kebakaran hutan, impor pangan, atau urusan lingkungan lainnya. Tidak pula dengan segala atribut yang melekat pada diri yang nyapres tetapi berfasilitas pejabat tetap. Ini model yang dia tidak pernah berubah, karena mengira bahwa seluruh penduduk ini tidak menyadarinya.

Sadarilah bahwa negara yang bernorma dasar Pancasila tidaklah pantas dipameri tingkah pola tidak mau mengambil jarak untuk rela melepaskan fasilitas sedasar dirinya yang maju sebagai kandidat. Dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa telah diamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Dinyatakan pula bahwa Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan kebijakannya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Kebohongan kadang sungguh menyembulkan kekesalan paripurna. Data yang dibenar-benarkan telah menggerogoti daya tahan negara dan menjadikan mereka berjarak atas nama etika. Sambil menanti pergerakan kisah debat edisi selanjutnya di esok hari, kini kulanjutkan membaca novel Petualangan Don Quixote, yang menurut pengarang Rusia, Fyodor Dostoyevsky menyebutnya: “kata yang paling puncak dan paling luhur dari pemikiran manusia”. Enak pula membaca ulang karya Hamka, Bohong di Dunia yang ditulis beliau di Bukitinggi tahun 1949. Berbohong adalah berkata tidak jujur atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya. Begitu kata Buya Hamka.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO