Sumamburat: Menempuh Jalan Kampung

Sumamburat: Menempuh Jalan Kampung Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

UNGKAP syukur terekspresikan penuh hikmat kebijaksanaan dalam merayakan Hari Kemenangan, Idul Fitri, 1 Syawal 1439 H. Alhamdulillah saya diberi kemampuan oleh-Nya untuk melintas, menjelajah, menempuh kembali jalan-jalan kampung di Jawa. Keberangkatan dimulai dari sebuah desa di Lamongan bergerak beriring menuju Jawa Tengah, Jawa Barat, dari areal Pantura, dan melingkar menuangkan cinta memendarkan paseduluran dengan kolega, handai taulan di seperbagian Banten-DKI Jakarta, sambil melingkarkan hati melalui jalur selatan menuju Yogyakarta dan bersilaturahmi ke banyak keluarga. Saya berikhtiar menyapa dan beranjang sana mengetuk pintu rumah maupun kelambu rindu sukmanya. Senyum mengembang tanda sambungnya jiwa di antara kami semua yang telah melalui tahapan “kurikulum” kehidupan dalam “mata kuliah puasa Ramadhan” yang bersatu dalam lingkar agama dan ragam peradaban memetik kemaslahatan atas ajaran-Nya. 

Hadirnya momentum Idul Fitri guna menautkan hati sesama anggota keluarga besar adalah sumbangsih untuk merajut kemaslahatan. Sedulur-sedulur yang ada di kota membawa berita ke kampung halaman yang ada di pinggir-pinggir sawah, ladang, dan hutan berikut gunung-gunung yang menjulang di hadapan rumah asalnya. Suasana tampak teraduk dalam haru yang menyemburatkan rasa terima kasih kepada-Nya. Betapa agung dan mulianya agama Islam dengan risalah penyempurna yang dihelat Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan segala model penormaan ibadahnya.

Ajaran Islam sangat spektakuler hingga negara harus terpanggil maupun terpaksa menyimpuhkan diri menyediakan segala fasilitas untuk kemudahan orang-orang mudik sebagai mekanisme sambang tempat kelahiran di mana nafas pertama kali bersinggungan dengan oksigen permulaan. Inilah kenapa secara kejiwaan dan ruhaniah mudik itu tidak bisa dielak?

Pada dasarnya manusia itu akan pada titik magnetik keberadaan dan kenihilan yang abadi senantiasa membutuhkan “organ kekerabatan”. Jiwa nan menyukma bagi keberadaan penciptaan itu ada dalam bembungkus keluarga selaksa komunitas paling esensial dalam membangun peradaban. Negara itu terdiri atas keluarga-keluarga, maka kemajuan keluarga memanggul kemajuan umat. Negara yang menyadarinya tentu akan memantapkan pesan bahwa dirinya ini untuk keberadaban sebuah kaum dengan memperadabkan keluarga.

Atas logika sederhana ini saya menjadi teringat tentang 10 Program PKK yang pernah menjadi andalan Orde Baru dalam mengukirkan kuasa pada NKRI. Kuasa yang mendorong keluaran organisme manusia yang hendak mengenyangkan dirinya dengan meraih cita berwenang menata kumparan keluarga. Untuk itulah diperkenalkan mandat yang harus diberikan kepada penguasa yang tersepakati dalam prosedur pemilu yang mengamalkan ajaran demokrasi. Idul Fitri di tahun politik 2018 ini setarikan nafas pastilah mengerek pula gelombang pertarungan tahun 2019. Tidak usah ditutup-tutupi bahwa 2018-2019 menjadi ajang kontestasi yang menarik bagi “peminta-minta kekuasaan” yang harus dituang dari aras tanggungjawab membangun kehidupan bersama melalui pemerintahan negara. Pilkada dan pilpres niscaya mewarnai pembicaraan mudik menempuh jalan kampung. 

Ohh … betapa mengagumkannya bangsa Indonesia ini, yang rakyatnya gemar membaca, setiap orang dan anak-anaknya amat gandrung membaca, ya membaca “dengan nama android”, membaca segenap opini yang menyesaki ruang-ruang publik dan kamar-kamar pribadinya. Gelontoran informasi yang masuk ke tablet mungil yang disebut HP itu amat dahsyat dan membanjir dengan luapan air bah yang mampu menenggelamkan siapa saja pembaca yang abai “dengan nama Tuhannya”. Agar anggota keluarga kita selamat dalam mengarungi lautan informasi yang terus menyamdura itu, tanamkanlah arti membaca yang selalu “dengan nama Tuhan” demi keterbimbingan diri secara Ilahiyyah.

Santernya informasi yang tersebar melalui HP, kemudian bercampur menjadi adonan berita yang menggumpal dengan diskusi-diskusi tentang pilkada dan pilpres musti disikapi bijak. Cuiwitan yang menyembul dalam jalan menuju kampung itu juga termasuk mengenai hadirnya “polisi aktif” yang “memainkan peran politik” yang dibalut dengan “suguhan prosedur administratif” agar tetap legal menjabat Gubernur di Tatar Sunda misalnya. Realitas yang tidak luput menjadi obrolan yang menyertai kelana Idul Fitri. Hal yang mudah ditangkap oleh rakyat yang sudah cerdas tentang “lika-liku mutasi” yang dilakukan demi sahnya secara yuridis jabatan Pj Gubernur, sambil mengangkangi setumpuk regulasi pemerintahan daerah. 

Kentara sekali bahwa kuasa tidak bisa dibendung nafsunya hingga kita hanya bisa melongo menyimak pola pengaturan yang ngakali negara hukum di kala Idul Fitri masih kerasan singgah di rumah kita. Belum lagi soal adanya tokoh agama atau menokoh-nokohkan diri sebagai perwakilan ormas penting untuk datang ke Israel yang digulirkan oleh meraka yang sehaluan sebagai diplomasi tingkat tinggi. Untuk mengerti tentang itu tidak perlulah berdebat, cukuplah dengan menyimak dan membaca sambil menyebut nama Tuhan, maka kita memiliki pemahaman mengenai apa yang dilakukan sang tokoh itu dalam kelindan teroris nan radikalis Israel. Ini bukan diplomasi kelas tinggi tetapi “ketidaksanggupan mengerti” yang menjadi noktah dan nila di Idul Fitri.

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO