Sumamburat: "Sangkala 2030"

Sumamburat: "Sangkala 2030" Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

HARI-hari ini saya menyaksi gempitanya khalayak ramai untuk membaca novel Ghost Fleet karya P.W. Singer dan August Cole setarikan nafas hadirnya tafsir yang membungkus pidato Ketua Umum Partai Gerindara, Prabowo Subianto di acara Konferensi Nasional dan Temu Kader di Sentul, Bogor. Orasi itu bermula dari panggung internal partai, 18 Oktober 2017 lalu yang diunggah di medsos dan menebarkan ujaran selingkup nasib Indonesia tahun 2030. Pidato ini menggelegar dan menggedor beragam pihak serta memantik pernyataan, termasuk dari “penduduk” Kursi Tertinggi RI yang tertarik menyentilnya, di hadapan mahasiswa waktu berkunjung di Malang, Kamis 29 Maret 2018.

Saya menyimak dalam keriuhan dan mencoba untuk mengheningkan diri di selisik kolega yang khusuk di Hari Paskah, Jumat 30 Maret 2018 sambil mencermati “semliwernya” perspektif atas kosa kata Sang Jenderal. Para akademisi tidak kurang serunya menimbrungkan diri berdiskusi “teropong 2030”, dan politisi memainkan “tali-temali” yang dirajut dalam konteks “kain pemilu 2019”. Saya menyadari betapa sebuah ungkapan dapat “meledak” di hamparan sosial yang semula “senyap-senyap” saja, kemudian menggeliat seolah ular raksasa yang harus diantisipasi agar tidak terjadi huru-hara. Ucapan itu berubah seperti selongsong peluru tajam yang nyasar ke mana-mana dan formasi politiknya amat kentara dengan dukungan media besar-besaran.

Sorot mata dan pekik kecewa tertuju kepada “penyambung pesan Indonesia 2030”, serta tepuk tangan dan senyum kemenangan seperti sedang diraih “penyuka citra” dengan “meledek” siapa saja yang mengusik Indonesia, apalagi sampai mengumbar “kata bubar” di tahun 2030. Saya terus berikhtiar mendengar pelan atas pidato yang diviralkan itu agar mampu mengendapkan ruhani di cakrawali tafsir yang menghiasi waktu. Niat baik untuk menjadikan semua bacaan sebagai referensi pemantik kasadaran kolektif bangsa agar Indonesia tetap Raya, adalah mulia adanya. Kewaspadaan nasional mutlak dibangun dan diperteguh dengan merawat rasa cinta tanah air tanpa reserve. Setiap perdebatan yang dicuatkan harus ada ujungnya yang berupa penguatan nasionalisme Indonesia sebagai negara adidaya 2030.

Rasa khawatir yang terlontar dari “kamar pribadi” partai apapun dan diri siapapun guna memperkokoh kedaulatan NKRI, bukanlah aib melainkan keterpanggilan berdharma terhadap Ibu Pertiwi. Pada titik singgung demikian, urusan menggelorakan semangat kebangsaan tidak perlu dikategorisasi dengan sebutan “sumbernya hanyalah novel” yang tidak ilmiah. Membongkahkan gairah berbangsa yang semula berupa serpihan-serpihan kehendak untuk selanjutnya menggumpal dahsyat bagi teguhnya NKRI, silahkan diramu dari bermiliar-miliar “bintang pemandu”. Argumentasi ilmiah maupun klenik boleh “disumamburatkan” dengan opsi tunggal Indonesia semakin berdaulat. Di sinilah antara kehendak dan capaian akan berkelindan dalam “detak antara” yang varian temanya boleh diomongkan tetapi pertaruhan utamanya adalah kehebatan Indonesia di panggung 2030.

Untuk meredakan “ketegangan” mengenai sangkala 2030 dalam “ocehan” keilmuan, saya teringat kembali “umpatan” A.F. Chalmers dalam narasi yang amat mencubit: “… Ia menyangka bahwa ada suatu kategori ‘ilmu’ dan menganggap berbagai macam bidang pengetahuan, fisika, biologi, sejarah, sosiologi, dan sebagainya harus termasuk kategori itu atau tidak. Saya tidak tahu bagaimana karakterisasi umum tentang ilmu demikian dapat dikukuhkan atau dibela. Para filusuf tidak mempunyai jalan keluar yang bisa mensahkan suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk menilai apakah suatu bidang pengetahuan dapat diterima atau dianggap ‘ilmiah’ …”.

Dengan demikian, A.F. Chalmers telah mendeskripsikan adanya problema kolosal bagi filsafat ilmu dalam menghadapi “klaim” promotor karakteristiknya. Ia menyatakan: “bahwa tidak ada konsepsi tentang ilmu yang abadi dan universal. Hal ini berarti bahwa setiap bidang pengetahuan dapat dianalisis sebagaimana apa adanya. Kita dapat menyelidiki apa tujuannya, yang mungkin berbeda dengan tujuan yang diperkirakan secara umum”. Dari sudut pandangan ini, tidaklah diperlukan suatu kategori umum ‘ilmu’ untuk mengukur bidang pengetahuan sebagai ilmu atau dinistakan sebagai non ilmu.

Itulah sikap tegas A.F. Chalmers dalam memandang “domain” ilmu yang senantiasa melapangkan hati akademik saya. Apalagi Jujun S. Suriasumantri yang bukunya Ilmu dalam Perspektif sangat terkenal di kalangan kampus juga berujar: Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistimologi, dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan ditinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Demikian juga kita akan mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya. Pun Paul Feyerabend telah menandaskan: ilmu tidak mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya mempunyai keunggulan secara hakekat terhadap cabang-cabang pengetahuan lain seperti mitos purba atau voodoo”.

Akhirnya, nasihat Albert Einstein pada tahun 1938, saya cermati kembali: “Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus elalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar”. Kini biarlah saya mengelanakan pikir untuk menjelajahi semua ruang semesta dengan “kadar imajinasi” akal untuk menemukan “pendar cahaya” Indonesia di kancah 2030. Mata saya pun tertuju membaca ulang karya-karya Kahlil Gibran, Secrets of The Heart serta The Earth Gods, teristimewa kisah Kematian Sebuah Bangsa. Buku Daron Acemoglu dan James A. Robinson, The Origins of Power, Prosperity and Poverty yang mengungkit kegagalan sebuah negara, tak elok diabaikan “di belantara sangkala 2030”. Tetap setialah melantunkan lirik nyanyian “… Hiduplah Indonesia Raya”.

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO